Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Citayam Fashion Week dan Kekayaan Intelektual

Kompas.com - 31/07/2022, 05:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com 26 Juli 2022 memberitakan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) meminta pihak yang bukan pencetus Citayam Fashion Week untuk tidak mengajukan permohonan merek.

Apalagi jika pihak yang mengajukan permohonan tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari orang pertama pencetus nama Citayam Fashion Week.

“Kalau bukan pencetus yang pertama kali, atas sebuah tanda yang dikategorikan sebagai merek, dan tidak mendapatkan persetujuan dari mereka yang mencetuskan, sebaiknya kita jangan mendaftarkannya. Itu sama saja dengan merampas punya orang lain," kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu dalam konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Selasa (26/7/2022).

Razilu mengungkapkan, pada dasarnya setiap pihak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek.

Kendati demikian, dia memastikan bahwa tidak semua pihak yang mengajukan permohonan itu dapat dikabulkan atau diterima pendaftarannya oleh DJKI.

Hal itu ia sampaikan dengan mengutip aturan hukum soal pendaftaran merek, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

"Semua pihak dapat mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sepanjang didasarkan pemohon yang beritikad baik dan berintegritas serta memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis," jelas Razilu.

Sebagai warga negara yang awam hukum namun berupaya patuh hukum, sepenuhnya saya setuju dengan pernyataan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Saya menghargai sikap cermat Kemenkumham dalam memproses permohonan pendaftaran kekayaan intelektual yang memang cukup kompleks maka cukup rumit.

Terutama harus seksama dicegah jangan sampai kekayaan intelektual dimonopoli para pemilik modal yang lebih memiliki akses ke pendaftaran kekayaan intelektual.

Jangan sampai kepemilikan hak atas kekayaan intelektual malah lepas dari tangan pihak yang sebenarnya adalah justru yang menciptakan kekayaan intelektual yang didaftarkan.

Tradisi hak paten berasal dari Amerika Serikat maka wajar bahwa di lembaran sejarah Amerika Serikat sudah tercatat cukup banyak data hitam di mana kekayaan intelektual dimiliki secara legal bukan oleh yang menciptakannya, tetapi sekadar pihak yang terlebih dahulu mendaftarkan dan membayar biaya pendaftaraannya.

Kini sejarah iptek sudah membuktikan bahwa penemu lampu pijar sebenarnya bukan Thomas Alfa Edision dan penemu telepon sebenarnya bukan Graham Bell.

Namun nama-nama yang sudah terlanjur tercatat di daftar kantor Hak Paten Amerika Serikat adalah Thomas Alfa Edison sebagai penemu lampu pijar dan Graham Bell sebagai penemu telepon.

Secara kronologis memang kedua beliau adalah yang pertama datang dan mendaftarkan hak paten, maka keduanya yang kemudian abadi tercatat di lembaran sejarah peradaban manusia.

Berbagai pihak yang merasa diri sebagai penemu lampu pijar dan telepon sebenarnya sudah protes ke pengadilan ekonomi Amerika Serikat namun kapitalisme telah membuat Edison dan Bell sedemikian maha kaya raya sekaligus berkuasa berkat kepemilikan hak paten lampu pijar dan telepon sehingga kedua beliau mampu membayar super-lawyer sakti mandraguna yang mampu membuat kedua beliau untouchable alias tidak tersentuh oleh hukum.

Mahfum bahwa ada meski tidak semua pengacara berkarya di lahan industri hukum bukan hanya di Amerika Serikat memang menganut paham maju tak gentar membela yang bayar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com