KOMPAS.com - Citayam Fashion Week adalah aksi peragaan busana di zebra cross kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Layaknya Paris Fashion Week yang terkenal, para 'model' berlenggak-lenggok mengenakan busana khasnya sambil menyeberangi jalan.
Bedanya, para 'model' yang meramaikan Citayam Fashion Week adalah remaja dari Depok, Citayam, dan Bojonggede, daerah penyangga Jakarta.
Nah, dari latar belakang inilah istilah Citayam Fashion Week bermula.
Citayam Fashion Week tidak ada hubungannya sama sekali dengan Citayam, sebuah desa di Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Viralnya kawasan Dukuh Atas sebagai lokasi Citayam Fashion Week ini bermula dari beredarnya video-video wawancara di media sosial.
Baca juga: Pendaftaran Merek Citayam Fashion Week, Baim Wong, dan Penjelasan DJKI...
Video wawancara itu menampilkan jawaban remaja-remaja yang masih polos, sehingga mengundang gelak tawa.
Tak hanya itu, muda-mudi yang diwawancarai juga kerap mengenakan busana khas dan nyentrik.
Dari video-video viral tersebut, muncul nama-nama seperti Kurma, Bonge, Jeje Slebew, Roy, dan Alpin yang semuanya berasal dari daerah sekitar Jakarta.
Dalam banyak video yang beredar, terlihat para anak-anak muda yang tengah asyik 'nongkrong' di kawasan tersebut.
Namun kini daerah Dukuh Atas menjadi sangat ramai setelah viral Citayam Fashion Week.
Tidak hanya jadi tempat remaja dari penyangga Jakarta ngongkrong dan cari hiburan, namun juga pejabat dan kalangan menegah atas, hingga artis membuat konten.
Terkait fenomena ini, sosiolog dari Universitas Indonesia Hari Nugroho memberikan pandangannya.
Hari mengatakan, tren "Citayam Fashion Week" berpotensi "dikuasai" oleh kalangan menengah ke atas yang memiliki sumber daya sosial dan ekonomi yang lebih.
Hal itu akan membuat para remaja dari Citayam, Bojonggede, dan Depok yang memulai tren tersebut justru tersingkir.
"Arena ini potensial hanya akan diambil alih oleh mereka yang punya power and resources lebih besar yaitu kalau bukan anak muda kelas menengah Jakarta, atau ya mereka yang mau pakai untuk keperluan panggung politik," kata Hari saat dihubungi Kompas.com, Minggu (24/7/2022).
Hari mengatakan, kondisi tersebut akhirnya membuat anak-anak itu (remaja Citayam) akan tersingkir atau sekurangnya hanya menjadi penopang, bukan lagi subjek utama arena.