KOMPAS.com - Tim ahli bedah dari New York University, Amerika Serikat mengumumkan keberhasilan mentransplantasi jantung babi yang telah dimodifikasi secara genetik ke dua pasien pada Selasa (12/7/2022).
Dikutip dari CNN, (12/7/2022), penerima pertama bernama Lawrence Kelly (72) dari Pennsylvania yang telah dinyatakan mati otak.
Keluarga Kelly menyumbangkan tubuhnya untuk penelitian pada Juni lalu yang bertujuan menyelidiki seberapa baik jantung babi di tubuh manusia.
Setelah Kelly, pada awal Juli 2022, tim bedah dan peneliti ini mengulangi prosedur serupa kepada pasien meninggal, Alva Capuano (64) dari New York.
Setelah transplantasi, para peneliti melakukan tes selama tiga hari guna memantau seberapa baik jantung diterima, sementara tubuh penerima tetap hidup menggunakan mesin.
"Tidak ada tanda-tanda penolakan awal yang diamati dan jantung berfungsi normal dengan obat standar pasca transplantasi dan tanpa dukungan mekanis tambahan," kata tim peneliti dalam rilis berita.
Selain itu, para peneliti juga tidak menemukan tanda-tanda infeksi porcine cytomegalovirus (pCMV).
Infeksi ini dikhawatirkan bisa menimbulkan hambatan untuk menggunakan organ babi pada manusia.
Lantas, mengapa jantung babi dipilih untuk ditransplantasikan ke manusia?
Baca juga: Dokter Ungkap Penyebab Kematian Pasien Transplantasi Jantung Babi Bukan karena Penolakan Organ
Xenotransplantasi, proses pencangkokan atau transplantasi organ maupun jaringan dari hewan ke manusia, memiliki sejarah yang panjang.
Pencangkokan jantung babi ke manusia bukan merupakan xenotranplantasi pertama yang pernah terjadi.
Dilansir dari New York Times, pada 1960-an, ginjal simpanse pernah ditransplantasikan ke beberapa pasien manusia.
Akan tetapi, pasien penerima yang bertahan hidup paling lama hanya sekitar sembilan bulan.
Pada 1983, jantung babun ditransplantasikan ke bayi yang dikenal sebagai Baby Fae. Sayangnya, bayi ini meninggal 20 hari kemudian.
Pemilihan babi lantaran hewan ini memiliki keunggulan dibandingkan primata dalam hal pengadaan organ.