Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zenwen Pador
Advokat dan Konsultan Hukum

Praktisi Hukum Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Evaluasi Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 28/06/2022, 14:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA akhir periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres tersebut diundangkan pada 27 September 2018.

Dari aspek sosiologis, Perpres 86 didasarkan pada pemahaman dasar bahwa pemerintah masih perlu mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Artinya pemerintah sadar betul bahwa ketimpangan struktur penguasaan agraria masih tinggi.

Secara yuridis Perpres itu didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2OOI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OO7 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2O25.

Baca juga: Reforma Agraria Masalah Struktural, Tak Selesai Hanya dengan Jadikan Eks Panglima TNI Menteri ATR

Maka dalam Perpres 86 itu reforma agraria dipahami sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana capaian reforma agraria yang telah dilaksanakan pemerintahan Jokowi setelah hampir empat tahun berjalan sejak perpres dikeluarkan? Apakah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah berhasil dikurangi secara signifikan?

Ketimpangan struktural

Pasal 2 Perpres Reforma Agraria menyebutkan tujuh rincian tujuan dari reforma agraria:

  1. Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan;
  2. Menangani sengketa dan konflik agraria;
  3. Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
  4. Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;
  5. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;
  6. Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan;
  7. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Pada prinsipnya, dari tujuh tujuan tersebut, dua tujuan pertama merupakan tujuan dasar, yaitu menyangkut ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah serta sengketa dan konflik agraria. Apabila dua tujuan tersebut cukup memadai pencapaiannya, akan berdampak kepada keberhasilan tujuan-tujuan lainnya.

Ketika Amien Rais pada masa debat capres tahun 2019 mengkritik pemerintah dengan mengatakan 74 persen lahan dikuasai pihak asing, banyak yang mempertanyakan kesahihan data tersebut karena dinilai tidak jelas sumber dan rujukannya. Persoalannya kemudian ternyata pemerintah sendiri sepertinya tidak memiliki data resmi terkait penguasaan dan pemilikan tanah.

Alih-alih mempublikasikan data resmi sebagai pembanding, Jokowi ketika itu justru mengakui adanya ketimpangan penguasaan tanah tetapi Jokowi menggaris bawahi bukan pemerintahannya yang bagi-bagi tanah dan lahan kepada para konglomerat atau pihak asing.

Baca juga: Pengembang Tentang Reformasi Agraria

Maka, sejak pertengahan periode pertama sampai periode kedua pemerintahannya, sampai saat ini Jokowi getol dengan program penerbitan sertifikat (tanah) untuk rakyat, yang dikatakan sebagai bagian dari redistribusi tanah.

Banyak kalangan sepakat, upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tidak cukup hanya dengan pembagian secara simbolis sertifikat tanah. Program pemerintah Joko Widodo untuk menyelesaikan pembuatan 125 juta sertifikat di seluruh bidang tanah pada 2025 baru merupakan langkah awal untuk memecahkan problem utama tersebut.

Melihat ke belakang, sertifikasi lahan yang merupakan bagian dari reformasi agraria sebenarnya telah dimulai pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, ketika itu menyatakan reformasi agraria (dia menamainya reforma agraria) merupakan "kebijakan pembangunan yang berkeadilan sosial".

Harus diakui, pemerintah Jokowi secara eskalatif mempercepat program itu. Pada era Yudhoyono, saban tahun cuma 800 - 1.000 sertifikat yang diterbitkan. Meski tidak sesuai dengan target 5 juta sertifikat, tahun lalu pemerintah Jokowi menyelesaikan 4,2 juta di antaranya. Hampir setiap pekan Jokowi berkunjung ke daerah dan secara simbolis membagikan sertifikat tanah (Tempo, 3/4/2018).

Problemnya, penyertifikatan tanah secara administrasi hanyalah penguatan status hukum atas pemilikan atas tanah. Artinya, program sertifikat sedikit sekali yang menyentuh soal pengembalian penguasaan atau kepemilikan tanah oleh rakyat. Penerbitan sertifikat dapat diproses dengan asumsi tidak ada lagi problem pemilikan dan penguasaan.

Lalu bagaimana dengan rakyat yang memang sama sekali tak menguasai apalagi memiliki bidang tanah? Atau tanahnya telah beralih penguasaan kepada pemilik modal atau pihak-pihak lain yang pastinya lebih kuat baik secara politik maupun ekonomi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com