Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!
Puisi “bunga dan Tembok” yang ditulis Wiji Thukul ini begitu lugas menyebut kebengisan rezim Soeharto.
Wiji yang “dilenyapkan” karena kekritisannya bersama 12 aktivis di episode gelap bangsa ini di antara 1997 – 1998, begitu mengasosiasikan rezim dengan padanan tembok.
Bisa jadi memang tembok secara fisik “memisahkan” antara kanan dan kiri. Menjadi penyekat antara yang setuju dan yang menentang.
Akan tetapi, kekuatan dan keangkuhan sebuah tembok suatu saat akan runtuh jua walau lewat biji bunga-bunga liar.
Dan Wiji telah membuktikan hal itu walau keberadaannya hingga kini raib tanpa kejelasan.
Tembok dalam kilasan sejarah umat manusia, memiliki makna yang harfiah. Tembok dibangun untuk menghindari serangan dari musuh.
Tembok Besar China tidak hanya tentang rangkaian tembok dan benteng kuno. Tembok Besar adalah simbol China yang paling dikenal dan memiliki sejarah yang terentang lama.
Dibangun era Kaisar Qin Shi Huang pada abad ke tiga sebelum masehi sebagai cara untuk mencegah serangan dari nomaden barbar.
Kaisar pertama China yang bersatu di bawah Dinasti Qin, yakni Qin Shi Huang di sekitar tahun 220 SM menitahkan agar benteng-benteng yang ada sebelumnya diratakan.
Sejumlah tembok yang ada di sepanjang perbatasan utara digabung menjadi satu sistem tunggal yang melindungi China dari serangan arah utara.
Sekitar 400.000 orang tewas selama proses pembangunan China Great Wall, malah banyak yang terkubur di dalam tembok itu sendiri.
Pekerjanya kebanyakan dari laskar tentara, narapidana dan rakyat jelata (Kompas.com, 04/11/2021).
Hingga saat ini, Tembok Besar China diakui sebagai salah satu prestasi arsitektur paling mengesankan dalam sejarah peradaban umat manusia.
UNESCO sejak tahun 1987 menetapkan Tembok Besar China sebagai warisan dunia
Pasca-Perang Dunia II, Jerman terbelah dua karena pembagian pihak Sekutu. Bagian Timur dikuasai rezim boneka Uni Sovyet yang pada akhirnya mengalami keambrukan ekonomi dan menimbulkan eksodus warga ke Jerman Barat.
Sementara Jerman Barat dikuasai rezim yang beraliran kapitalis.
Banyaknya warga Jerman Timur yang eksodus ke Jerman Barat membuat pemimpin Jerman Timur Wilhem Pieck memutuskan untuk menutup perbatasan tahun 1952.
Hingga akhir 1950-an tercatat ada tiga juta warga Jerman Timur yang kabur ke Jerman Barat.
Untuk mencegah aliran eksodus semakin membesar, tanggal 13 Agustus 1961, dibangunlah penghalang menggunakan pagar berduri agar tidak ada lagi warga Jerman Timur yang kabur melarikan diri.
Dua minggu berikutnya, dibangunlah tembok beton sepanjang 140 kilometer yang dikenal dengan julukan Tembok Berlin.
Keberadaan Tembok Berlin tidak menyurutkan semangat pembelot Jerman Timur untuk menyeberang ke Jerman Barat.