SEBENARNYA saya sudah mengikhlaskan diri untuk dicemooh bahkan dihujat akibat hobi bikin terminologi seperti kelirumologi, humorologi, malumologi, andaikatamologi, alasanologi, wayangomologi, bingungologi, ngawurologi, serta logi-logi lain-lainnya sehingga akhirnya saya menulis buku dengan judul Naskah-Naskah Ologi-Ologi.
Namun sebenarnya pula saya merasa diperlakukan secara tidak adil karena terbukti orang lain boleh punya hobi bikin terminologi sesuai kehendak dan selera masing-masing seperti, misalnya, arkeoastrobiologi, psikososiobiologi, ethologi, acarologi, bromatologi, koniologi, desmologi, edafologi, felinologi, helioseismologi, histologi, lepidopterology, limnologi, malakologi, oologi, palinologi, flebologi, skatologi, sitiologi, xilologi, etceteraologi.
Seluruh terminologi itu kecuali yang terakhir bukan buatan saya.
Eksistensi beranekaragam terminologi tersebut memprihatinkan saya karena jika orang lain boleh lalu kenapa saya tidak boleh.
Padahal belum ada undang-undang yang melarang manusia bikin terminologi diri sendiri masing-masing.
Keyakinan saya makin diperyakin oleh kenyataan saya tidak sendirian dalam hobi bikin terminologi sebab tidak kurang dari Harvard University Press berkenan mempublikasikan sebuah buku berjudul Smellosophy dengan sub-judul What the Nose Tells the Mind mahakarya seorang ilmuwan alumnus Universitas Exter dan Humboldt University of Berlin bernama DR. Ann-Sophie Barwich.
Bahkan DR. Barwich bukan cuma menggunakan istilah logi, tetapi malah sofi yang martabatnya di atas logi kini berkarya sebagai Assistant-Professor di Indiana University Bloomington serta Konrad Lorenz Institute, Columbian University New York dalam bidang cognitive neuroscience serta filsafat neurosains di samping olfaksi.
Menurut DR Ann-Sophie Barwich riset kognisi selama berdasawarsa menerangai eksternal stimulus memicu pola-pola neural “spark” pada kawasan tertentu pada otak amanusia.
Semua itu melahirkan anggapan bahwa otak merupakan sesuatu benda yang bisa dipetakan sehingga mata mampu mengenali wajah sambil menerima sensasi di tangan kiri.
Namun khusus pada indera bau berdasar kesimpulan neurosains teranyar ternyata anggapan itu gugur.
DR. Barwich bergaya Sokrates mempertanyakan apa saja yang dilaporkan hidung ke otak dan bagaimana otak mencerna demi memahaminya.
DR Barwich mewawancara para pakar neurosains, psikologi, kimia dan parfum dalam rangka upaya memahami mekanisme biologikal serta aneka ragam pemaknaan terhadap apa yang disebut sebagai bau.
Menurut DR. Barwich, sudah tiba saatnya sains berhenti mendaur-ulang gagasan berdasar
paradigma visual terhadap olfaktori.
Daya penginderaan bau jauh lebih tak-kenal-batas gerak ketimbang visual images maka tidak layak dipaksakan untuk segaris dengan daya penginderaan lain-lainnya.
Smellosophy mengungkap model baru untuk memahami bagaimana otak mengolah informasi sensorial.