Oleh: Muhammad Sarip dan Nabila Nandini*
PEMINDAHAN ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) menghadirkan sejumlah tantangan bagi kultur lokal. Apakah tradisi bahasa daerah sebagai unsur utama budaya lokal bakal tereliminasi? Masihkah generasi muda di provinsi yang bersemboyan Ruhui Rahayu ini mengenal bahasa daerah? Bagaimana masa depan bahasa ibu di timur Pulau Kalimantan?
Pindahnya IKN lebih dari sekadar wacana di ruang perbincangan publik. Payung hukum sekaligus legitimasi politiknya sudah ada. DPR mengesahkan Undang-Undang IKN pada 18 Januari 2022. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyusul dengan tanda tangannya pada lembaran UU IKN yang diberi nomor 3 pada 15 Februari 2022.
Sebulan kemudian (14 Maret 2022), seremoni spiritual dilakukan di titik nol ibu kota baru yang diberi nama Nusantara. Presiden menyatukan 34 tanah dan air yang dibawa oleh 34 gubernur provinsi seluruh Indonesia sebagai simbolisasi persatuan mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Baca juga: Bahasa Banjar: Asal, Percakapan Sehari-hari, dan Arti
Selain mendapat dukungan, program pemindahan IKN juga menuai polemik. Ada yang mengkhawatirkan potensi bahaya bagi kebudayaan lokal Kaltim. Narasi tergusur dan di ambang kepunahan yang sebelumnya tersemat pada etnik Betawi di Jakarta, dikhawatirkan menimpa pula suku-suku asli di Kaltim. Peminggiran terhadap komunitas lokal berarti turut menyingkirkan unsur-unsur kebudayaan lokal, termasuk bahasa daerahnya.
Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, Kaltim mempunyai semboyan yang dicantumkan dalam lambang provinsi. Semboyan Kaltim menggunakan bahasa Banjar, “Ruhui Rahayu”, yang bermakna rukun-damai dan tenteram-harmonis.
Banjar merupakan satu dari suku asli Kaltim yang bahasanya efektif dikomunikasikan masyarakat multietnis. Penutur bahasa Banjar tidak hanya komunitas Banjar, melainkan juga sebagian orang Kutai, Dayak, Paser, Berau, serta para pendatang dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan pulau-pulau lainnya.
Secara khusus di ibu kota Kaltim, yakni Samarinda, bahasa Banjar Samarinda diidentifikasikan sebagai subdialek bahasa Melayu. Informasi ini terdapat dalam Peta Bahasa yang disusun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak hanya komunikasi vokal, ungkapan khas bahasa Banjar juga lazim dipakai dalam teks-teks akun portal berita di media sosial yang berbasis di Samarinda. Ada pula sebuah koran cetak harian yang terbit sejak 1999, tiap hari memuat rubrik cerita humor berbahasa Banjar. Padahal secara statistik, etnis Banjar bukanlah kaum mayoritas di Samarinda dan Kaltim.
Kuantitas pendatang dari luar Kalimantan bahkan lebih dominan di Kaltim.
Bahasa Banjar selain sebagai bahasa ibu, juga merupakan bahasa pergaulan (lingua franca) di ibu kota Kaltim. Penggunaannya di lingkungan keseharian masyarakat dilakukan oleh lintas generasi dan lintas etnis.
Bahasa Banjar konsisten menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi lama kepada generasi muda. Nasib bahasa daerah Banjar di Kaltim relatif cukup lestari karena ditopang oleh kuantitas penuturnya secara lisan dan tertulis yang lebih banyak ketimbang demografis orang Banjar itu sendiri.
Baca juga: Indonesia Negara Kedua dengan Bahasa Daerah Terbanyak, Negara Mana yang Pertama?
Riset Hapip empat dekade silam mengungkapkan, ada kesadaran tak tertulis pada orang-orang non-Banjar di Kalimantan untuk mempelajari dan menguasai bahasa Banjar (1981: 14). Realitas ini merupakan hal yang positif. Ini juga selaras dengan analisis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2019 dalam presentasi pemindahan IKN, bahwa IKN di Kaltim memiliki dampak negatif yang minimal terhadap komunitas lokal.
Pada 2021 instansi pemerintah bidang bahasa di daerah menyelenggarakan program seleksi naskah cerita rakyat berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah. Hasilnya, ada 31 naskah terkumpul dari masyarakat. Bahasa daerah yang digunakan utamanya berbahasa Banjar Samarinda, disusul bahasa Kutai, Paser, Tidung, Berau, Kenyah, dan Benuaq (Kemdikbud.go.id, 24 Oktober 2021). Dari data ini tampak bahwa bahasa Banjar Samarinda tergolong bahasa lokal yang relatif paling bisa diamankan dari risiko kepunahan.
Samarinda sendiri merupakan satu dari kota penyangga IKN Nusantara. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memberikan predikat Samarinda sebagai jantung pusat sejarah Kalimantan Timur (2021: 11).
Kota tepian Sungai Mahakam itu merupakan episentrum dan tumpuan bagi pelestarian nilai sejarah dan budaya di Kaltim. Namun, ketika ada wacana memformalkan pelajaran bahasa daerah di sekolah, ini juga perlu dikritisi.