DI tengah menguatnya dinamika kehidupan umat beragama, kita perlu merumuskan kode etik bersama (code of conduct) pola kehidupan berbangsa yang harmonis. Dalam hal ini, kode etik itu harus kita dasarkan pada dasar negara, Pancasila. Sayangnya hal ini belum terumuskan, disebabkan oleh pemahaman yang kurang tepat atas prinsip kebinekaan itu sendiri.
Selama ini kita memahami kebinekaan berdasarkan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi prinsip utama toleransi berbangsa. Apakah pemahaman ini sudah tepat? Mari kita uji bersama.
Kebinekaan, merujuk pada Bhinneka Tunggal Ika acapkali kita samakan dengan pluralisme yang merupakan ideologi pranata sosial di dunia Barat. Pluralisme yang dimaksud di sini ialah pandangan hidup yang menjaga keragaman karena menemukan titik kesamaan di dalam keragaman itu.
Baca juga: Merawat Kebinekaan di Ruang Kelas Kita...
Resikonya amat sensitif jika dikaitkan dalam konteks keragaman agama. Pluralisme cenderung menyamaratakan kebenaran agama karena menemukan titik persamaan dalam hal tertentu (wahdatul adyan). Sesungguhnya yang perlu dicari titik temunya adalah bagaimana sikap kita dalam menggali dan menemukan nilai-nilai universal setiap agama yang kemudian diperas menjadi kekuatan nilai moral-etik dan sikap perilaku kehidupan kita dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karenanya, ketuhanan, keadilan, kemanusiaan, persatuan dan kebangsaan, menjadi tonggak fundamental bagi setiap pemeluk agama-agama di Indonesia untuk menegakkan selurus-lurusnya oleh dan dari masyarakat berkebinnekaan. Itulah esensi Pancasila.
Perlindungan atas keragaman agama ini jika dicermati tidak berangkat dari metodologi agama, melainkan hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks HAM, keragaman paham keagamaan menjadi bagian dari hak-hak asasi individu untuk bebas menentukan diri, termasuk menentukan agama.
Hal ini berkelindan dengan teori posibilisme yang dikenalkan Vidal de la Blache yakni teori yang mengungkapkan bahwa manusialah yang menentukan kehidupannya. Karena menjadi bagian dari hak individu yang dibela oleh Deklarasi Universal HAM, ia menjadi quasi norma yang setara dengan norma agama.
Dalam kaitan inilah prinsip HAM membebaskan setiap individu, termasuk untuk tidak beragama. Pendekatan ini telah melakukan determinisme HAM atas persoalan keagamaan yang memiliki pendekatannya sendiri.
Memang perlindungan ini menjadi upaya negara modern untuk mengelola masyarakat berdasar pada prinsip multikulturalisme. Hanya saja dalam praktiknya, ia tidak taat dengan prinsip tersebut karena dasar pijakannya bukan kultur atau budaya, melainkan individualisme.
Di dalam multikulturalisme, keragaman kultur atau budaya dijamin dengan tetap menghargai keunikannya untuk berkembang berdasarkan asas-asas kebudayaannya sendiri. Keunikan kultur atau budaya berupa bentuk apapun asal tidak bertentangan dengan konstitusi, kultur itu bukan menjadi ancaman.
Faktanya berkata lain. Di dalam kerangka pluralisme, aspirasi agama, kultur atau budaya cenderung dipinggirkan karena dianggap sebagai anasir primordial yang kontra-produktif dengan spirit demokrasi. Jadi di dalam pluralisme, terdapat asumsi sekularisasi yang melihat agama, kultur atau budaya sebagai ancaman. Bukan sebagai partner strategis bagi perkembangan peradaban masyarakat.
Baca juga: Pluralisme: Definisi dan Dampaknya
Kecurigaan terhadap aspirasi umat yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa pluralisme ternyata tidak toleran dengan pandangan yang dianggap bertentangan. Lantas bagaimana dengan konsep original kebinekaan kita?
Pada awalnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimaksudkan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma sebagai pandangan pirenial atas kebenaran spiritual. Maka Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra yang mengandung arti: kemajemukan itu pada hakikatnya satu karena tidak ada kebenaran yang mendua. Yang dimaksud sebagai Dharma di sini ialah kebenaran ketuhanan yang lahir dari Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di masa Mpu Tantular disebut sebagai Sri Parwataraja.
Dengan menegaskan ke-Esaan Tuhan, Mpu Tantular ingin menunjukkan keberadaan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, telah ada sebelum Hindu dan Budha hadir di Majapahit.
Pertanyaannya, samakah hal ini dengan pluralisme? Tentu tidak. Sebab jika pluralisme berangkat dari realitas empirik yang beragam, maka kebinekaan berangkat dari realitas spiritual yang tunggal. Hal ini terkait dengan corak peradaban Timur dan Barat yang berbeda.