Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Budhi Kurniawan

Jurnalis Kompas TV.

Selamat Jalan Rad(h)ar Kesenian Indonesia

Kompas.com - 23/04/2021, 08:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Radhar Panca Dahana adalah mukjizat dalam dunia kesenian Indonesia. Bertahun-tahun mendekap gagal ginjal di tubuhnya, ia terus berkarya.

Ia menulis, berbicara di forum, berteater, dan melawan. Dalam kondisi sakit itu, ia menjadi salah seorang motor gerakan #SaveTim yang berjuang melawan komersialiasi Taman Ismail Marzuki.

Saya menyebutnya mukjizat, karena seakan tubuhnya yang kecil itu, tak akan mati -dikalahkan gagal ginjalnya.

Beberapa kali saya melihatnya terkapar di lantai usai ia membacakan puisi atau menyampaikan makalahnya.

Di Bentara Budaya Jakarta sekitar 3-4 tahun lalu, usai menjadi salah seorang narasumber, tubuhnya ambruk. Saya kira ia akan tamat saat itu.

Tapi ternyata dari waktu ke waktu bersamaan dengan keharusannya melakukan cuci darah dua kali seminggu, ia malah berlari dan berteriak lebih kencang tentang arah dan situasi kebudayaan Indonesia.

Pilihan katanya selalu menarik dan gaya bicaranya dramatikal seperti sedang berteater. Ia memang malang melintang sebagai pemain teater. Ia juga memimpin organisasi teater.

Di antara reruntuhan gedung-gedung Taman Ismail Marzuki yang hancur, fotonya yang sedang orasi beredar. Terlihat sekali ia sedang marah sekali. Kemarahan yang dramatik.

Pada suatu kesempatan di "pojok merokok" di serambi Menara Kompas, saya pernah bertanya soal sikapnya terkait revitalisasi TIM, yang seolah-olah anti perubahan.

Sebenarnya saya iseng bertanya, selagi menemaninya menunggu waktu siaran di Kompas TV. Tapi ia menjawab dengan serius tentang arti TIM sebagai rumah seniman dan bagaimana kebudayaan dihancurkan dengan pembangunan itu.

Ya, Mas Radhar selalu serius membicarakan soal kesenian.

Ia tak pernah menolak jika diundang menjadi narasumber di program-program Kompas TV, khususnya program Satu Meja maupun Rosi.

Sebagai budayawan, ia selalu memiliki sudut pandang lain dalam melihat persoalan politik dan korupsi yang terjadi.

Jika tak harus menjalani cuci darah atau agenda lain, ia selalu bersedia diundang. Belakangan ia juga selalu mengajak anaknya yang kecil dan istrinya yang setia menemani dan menunggunya selama siaran.

Membaca kisah hidupnya, bagaimana ia menulis sejak usia 10 tahun dan sudah dimuat di Kompas, itu adalah sejenis mukjizat yang lain.

Kini ia benar-benar kalah. Tapi saya yakin, di hati seniman yang bersamanya, ia selalu menang.

Selamat jalan, Mas Radhar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com