GUBERNUR Jakarta menyatakan akan menghentikan kebijakan pembangunan infrastruktur yang disebut sebagai normalisasi sungai. Maka normalisasi sungai kembali heboh diperdebatkan oleh yang pro dan yang kontra.
Sebagai seorang rakyat jelata yang awam pembangunan infrastruktur, saya tidak berani melibatkan diri ke dalam perdebatan pro dan kontra normalisasi sungai.
Namun saya paham bahwa tujuan utama normalisasi sungai adalah demi menanggulangi banjir. Sungai dianggap sudah tidak normal maka menyebabkan banjir.
Atas tujuan menanggulangi banjir itu maka sungai perlu dinormalisasikan alias dibuat menjadi normal kembali.
Meski kurang jelas di mana letak batasan kaidah yang membedakan sungai yang dianggap normal dari sungai yang dianggap tidak normal sehingga perlu dinormalkan kembali.
Ketidak-jelasan batasan antara normal dengan tidak-normal itu menyebabkan adu debat-kusir berkembang ke sana ke mari sehingga malah mengaburkan duduk permasalahan yang sebenarnya.
Secara empiris dapat ditarik kesimpulan bahwa pewujudan program normalisasi sungai bermasalah baik secara hukum mau pun HAM. Di masa lalu normalisasi sungai dilaksanakan dengan menggusur rakyat yang diistilahkan sebagai relokasi warga secara mematuhi hukum dan HAM serta sesuai dengan sila ke dua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sebagai warga yang kebetulan tidak bermukim di bantaran sungai maka tidak terpapar dampak naturalisasi sungai, sebenarnya tidak ada masalah apa pun bagi saya.
Namun pada 28 September 2016 terjadi suatu tragedi. Ratusan warga Bukit Duri jatuh sebagai korban penggusuran paksa pada saat tanah dan bangunan digusur de facto mau pun de jure masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri sekaligus juga Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berarti penggusuran rakyat miskin dilakukan secara sempurna melanggar hukum serta HAM di samping juga melanggar sila ke dua Pancasila yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Masalah naturalisasi sungai bukan utama bagi Indonesia sebagai negara hukum menjunjung tinggi HAM serta juga sudah menandatangani agenda pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati negara-negara anggota PBB sebagai pedoman pembangunan infrastruktur abad XXI tanpa merusak alam serta mengorbankan rakyat.
Yang dibutuhkan rakyat kecil dan kaum miskin sebenarnya bukan normalisasi sungai namun normalisasi kemanusiaan sesuai hukum serta HAM plus agenda pembangunan berkelanjutan mau pun Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan Keadilan Untuk Seluruh Rakyat Indonesia sebagai dua sila yang tergabung di dalam Pancasila.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.