SEORANG sahabat yang istrinya perawat di sebuah rumah sakit, menelpon dan mengirim pesan hasil survei yang dilakukan peneliti dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia bekerjasa sama dengan Ikatan Kesehatan Jiwa di awal April 2020 kepada 2.050 perawat seluruh Indonesia.
Berikut kutipan hasil survei:
“140 perawat telah merasa dipermalukan orang lain karena statusnya sebagai perawat Covid-19 atau bertugas di RS tempat penanganan Covid-19. Survei juga menunjukkan sekitar 135 pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya. Bentuk nyata penolakan yang dirasakan antara lain ancaman pengusiran, menghindar, menutup pintu atau pagar dan menjauhi keluarga perawat. “
Sungguh memilukan. Di sejumlah negara, demikian disiarkan di televisi, para perawat atau petugas rumah sakit yang hendak berangkat atau pulang kerja mendapat tepuk tangan sebagai tanda hormat dan takzim dari masyarakat yang berdiri di pinggir jalan.
Di negeri ini sebaliknya. Para perawat dan petugas rumah sakit malah mendapat stigma hingga pengusiran. Di luar hasil survei, diberitakan banyak media, jenazah para petugas medis bahkan ditolak di sejumlah tepat.
Ironi memilukan hasil survei tersebut melahirkan masalah psikologi sosial, seperti stres, sedih dan malu. Alih-alih merasa bangga menjadi pahlawan, banyak perawat malah menyembunyikan status sebagai perawat.
Stigmatisasi tersebut bahkan menjalar kepada para pekerja di rumah sakit seperti petugas bersih-bersih rumah sakit.
Salah satu efek psikologi sosial di era milenial yang vulgar dan saling serang tanpa panduan di media sosial adalah melahirkan beragam bentuk paradoks masyarakat.
Sebutlah nilai kebersamaan versus (vs) keterbelahan, saling dukung vs saling serang, saling menguatkan vs saling mengasingkan, komunal vs penguatan individual , etika vs hukum rimba
Paradoks tersebut lahir ketika eforia politik pemilu langsung sebagai medium terbesar, menghabiskan waktu dan termahal berbangsa, kurang diikuti penguatan pranata sosial di luar aspek politik.