Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir dari Jabodetabek hingga Surabaya, Kenapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 17/01/2020, 07:31 WIB
Nur Rohmi Aida,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Bencana banjir menjadi pembuka di awal 2020. Tak hanya di Jabodetabek, banjir juga menerjang sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan masih banyak daerah lainnya.

Rabu (15/1/2020), banjir juga sempat melanda Kota Pahlawan. Namun Pemkot Surabaya menyebutnya sebagai genangan lantaran banjir dapat cepat diatasi.

Lantas, mengapa banjir kerap terjadi di Indonesia?

Selain faktor cuaca, ahli hidrologi Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Pramono Hadi mengatakan terjadinya banjir juga dipengaruhi oleh kondisi fisiografis dari sisi lahan.

"Kalau soal cuaca, itu tidak bisa dipungkiri. Tapi daerah seperti Jakarta, daerah itu memang cekungan," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/1/2020).

Sementara di Jawa Tengah (Jateng), utamanya di Pantura, dulunya merupakan wilayah rawa. Salah satu contohnya yakni wilayah seperti Demak juga memiliki risiko banjir lantaran di daerah tersebut terletak di dataran rendah.

Terdapat pula sungai Juana yang kemudian ditutup untuk menghindari banjir meskipun tetap saja jika ada kelebihan air daerah tersebut air juga meluap.

Baca juga: PNS Korban Banjir Bisa Ajukan Cuti, Bagaimana Mekanismenya?

Muara sungai besar

Sedangkan untuk Surabaya, imbuhnya wilayah tersebut disebutnya juga bisa mengalami banjir lantaran Surabaya merupakan muara bagi sungai-sungai besar seperti Bengawan Solo maupun Sungai Brantas.

“Daerahnya dataran rendah, kemungkinan dulu rawa-rawa. Karakteristik lahannya tergenang. Sehingga kalau ada pasokan air berlebih banjir,” terangnya.

Ia menyampaikan seharusnya bagi daerah-daerah yang sudah diketahui wilayahnya berisiko banjir maka drainase harus dibuat sedemikian rupa, bukan mengandalkan drainase secara alami.

Pramono mencontohkan salah satu caranya adalah melalui pembuatan kolam retensi.

“Contoh di bandara Juanda atau Cengkareng dilengkapi kolam lebar. Tujuannya kalau ada air-air di landasan ada tempatnya dulu. Meskipun kemudian dari kolam yang besar itu dipompa. Tidak bisa alami,” kata dia.

Contoh lain menurutnya adalah keberadaan kolam retensi seperti Waduk Pluit yang dilengkapi dengan pompa sehingga mampu mengurangi banjir.

Hal lain yang menurutnya bisa menyebabkan banjir adalah adanya perubahan alih fungsi lahan.

“Kalau di daerah hulu, perubahan penggunaan lahan dari tegalan jadi pemukiman atau dari hutan jadi tegalan seharusnya fungsi hidrourologi fungsi dia untuk meresap air diimbangi,” kata Pramono.

Hal itu menurutnya supaya terdapat proses mengurangi air baik dalam bentuk waduk-waduk maupun bentuk resapan air ke tanah.

Baca juga: Ramai soal Peringatan Banjir Jakarta dari Kedubes AS, Ini Penjelasan BMKG

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com