Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Robert Na Endi Jaweng
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Kebiri Partisipasi Publik dalam Kebijakan Publik

Kompas.com - 03/11/2019, 18:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BULAN September 2019 menjadi salah satu masa suram dalam perjalanan sistem perwakilan politik dan praktik pembuatan kebijakan publik di negeri ini.

Menjelang akhir masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, pengesahan sejumlah regulasi krusial sungguh memantik kontroversi.

Protes besar mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat menunjukkan krisis representasi yang serius dalam sistem politik dan tata kelola kebijakan publik kita.

Dari sejumlah isu utama, pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada 17 September 2019 terbilang paling kontroversial.

Di luar itu, ada pula rencana pengesahan draf Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan draf Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (PAS).

Ketiga beleid ini punya nasib berbeda. Revisi Undang-Undang KPK telanjur disahkan, sementara pengesahan revisi UU KUHP dan Pemasyarakatan ditunda.

Kini, publik mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru.

Jika ditarik ke belakang, gelombang demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi mahasiswa tak muncul begitu saja. Ibarat pepatah, tak akan ada asap jika tak ada api.

Penolakan atas berbagai manuver wakil rakyat menjelang akhir masa jabatannya tak lepas dari kelahiran regulasi yang serba minim partisipasi publik dan terkesan sunyi senyap.

Bisa dibayangkan, tanpa ada angin dan hujan, klausul-klausul kontroversial tiba-tiba muncul. Berbagai pemangku kepentingan utama yang akan diatur dalam ketentuan tersebut pun tak banyak dilibatkan bahkan bisa dibilang seperti steril partisipasi publik.

Padahal, aturan yang tertuang dalam beleid ini nantinya akan mengikat masyarakat dan mengandung konsekuensi hukum yang harus ditanggung.

Tidaklah heran jika publik kemudian mencurigai adanya akrobat politik para anggota dewan yang membahayakan.

Fenomena gunung es

Sejatinya, berbagai polemik yang muncul ke permukaan hanyalah sebuah fenomena gunung es yang tampak puncaknya saja. Kontroversi berbagai aturan yang tak kalah merugikan sesungguhnya kerap kali terjadi di daerah.

Lagi-lagi, minimnya partisipasi publik menjadi penyebab utama kejanggalan berbagai peraturan di daerah. Belum lagi, pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seolah latah untuk hanya sekadar mencontek aturan daerah lain. Padahal, masing-masing daerah punya karakteristik dan ciri khas yang tak bisa disamaratakan dengan wilayah lain.

Minimnya partisipasi publik kian diperparah olehmenimbulkan semakin banyak ketidakpastian hukum karena inkonsistensi regulasitor. Aturan-aturan di pusat maupun daerah seringkali berubah super cepat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com