BULAN September 2019 menjadi salah satu masa suram dalam perjalanan sistem perwakilan politik dan praktik pembuatan kebijakan publik di negeri ini.
Menjelang akhir masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, pengesahan sejumlah regulasi krusial sungguh memantik kontroversi.
Protes besar mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat menunjukkan krisis representasi yang serius dalam sistem politik dan tata kelola kebijakan publik kita.
Dari sejumlah isu utama, pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada 17 September 2019 terbilang paling kontroversial.
Di luar itu, ada pula rencana pengesahan draf Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan draf Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (PAS).
Ketiga beleid ini punya nasib berbeda. Revisi Undang-Undang KPK telanjur disahkan, sementara pengesahan revisi UU KUHP dan Pemasyarakatan ditunda.
Kini, publik mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru.
Jika ditarik ke belakang, gelombang demonstrasi besar-besaran yang diinisiasi mahasiswa tak muncul begitu saja. Ibarat pepatah, tak akan ada asap jika tak ada api.
Penolakan atas berbagai manuver wakil rakyat menjelang akhir masa jabatannya tak lepas dari kelahiran regulasi yang serba minim partisipasi publik dan terkesan sunyi senyap.
Bisa dibayangkan, tanpa ada angin dan hujan, klausul-klausul kontroversial tiba-tiba muncul. Berbagai pemangku kepentingan utama yang akan diatur dalam ketentuan tersebut pun tak banyak dilibatkan bahkan bisa dibilang seperti steril partisipasi publik.
Padahal, aturan yang tertuang dalam beleid ini nantinya akan mengikat masyarakat dan mengandung konsekuensi hukum yang harus ditanggung.
Tidaklah heran jika publik kemudian mencurigai adanya akrobat politik para anggota dewan yang membahayakan.
Sejatinya, berbagai polemik yang muncul ke permukaan hanyalah sebuah fenomena gunung es yang tampak puncaknya saja. Kontroversi berbagai aturan yang tak kalah merugikan sesungguhnya kerap kali terjadi di daerah.
Lagi-lagi, minimnya partisipasi publik menjadi penyebab utama kejanggalan berbagai peraturan di daerah. Belum lagi, pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seolah latah untuk hanya sekadar mencontek aturan daerah lain. Padahal, masing-masing daerah punya karakteristik dan ciri khas yang tak bisa disamaratakan dengan wilayah lain.
Minimnya partisipasi publik kian diperparah olehmenimbulkan semakin banyak ketidakpastian hukum karena inkonsistensi regulasitor. Aturan-aturan di pusat maupun daerah seringkali berubah super cepat.