KOMPAS.com - Ali bin Abi Thalib adalah sepupu, sahabat, sekaligus menantu Nabi Muhammad.
Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai Khulafaur Rasyidin keempat pada 25 Zulhijah 35 H atau pada tahun 655 Masehi.
Namun pengangkatan Ali tidak diamini oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
Apa yang melatarbelakangi Muawiyah membenci pemerintahan Ali bin Abi Thalib?
Baca juga: Biografi Ali bin Abi Thalib, Anak Asuh Nabi Muhammad
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menyusul terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Khulafaur Rasyidin ketiga.
Khalifah Utsman bin Affan wafat di tangan pemberontak bernama Al-Gafiqi yang berhasil masuk lewat atap rumahnya dan membunuhnya.
Peristiwa pembunuhan dipicu oleh pemerintahan Khalifah Utsman yang dinilai penuh korupsi dan nepotisme.
Alhasil, timbul pemberontakan yang mengakibatkan Khalifah Utsman terbunuh di rumahnya.
Ali bin Abi Thalib menganggap pemberontakan sebagai reaksi wajar dari rakyat yang merasa ditipu oleh pemimpinnya, tetapi di sisi lain juga mengutuk pembunuhan Utsman.
Melihat adanya kekosongan kepemimpinan, Ali bin Abi Thalib, yang sebelumnya bertindak sebagai penengah antara pemberontak dan Utsman, diangkat menjadi khalifah oleh masyarakat Madinah.
Baca juga: Perselisihan pada Masa Khulafaur Rasyidin
Ali awalnya menolak karena merasa belum siap menjadi kepala negara, tetapi akhirnya mau menjadi khalifah setelah menyaksikan kekacauan yang terjadi sepeninggal Utsman.
Ketika sebagian sahabat setuju untuk membaiat Ali, Muawiyah bin Abu Sufyan, sepupu Utsman, tidak demikian.
Jabatan Muawiyah bin Abu Sufyan ketika terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah Rasyidin adalah Gubernur Syam (Suriah).
Melansir NU Online, pokok permasalah antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan adalah perbedaan hasil ijtihad yang mengakibatkan tarik ulur pembalasan kematian Utsman.
Muawiyah berargumen bahwa Ali berkewajiban untuk segara menuntut balas (qisash).