KOMPAS.com - Ngarot adalah tradisi untuk menyambut musim tanam yang dilakukan oleh masyarakat Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Selain untuk menyambut musim tanam, tradisi ini juga dikenal sebagai ajang mencari jodoh.
Uniknya, tradisi Ngarot hanya diikuti oleh generasi muda, khususnya para gadis dan laki-laki yang masih perjaka.
Konon, para janda, duda, dan perempuan yang tidak lagi perawan tidak diperbolehkan untuk ikut karena akan ditimpa aib.
Waktu dilaksanakan upacara Ngarot adalah pada hari Rabu antara Oktober dan Desember.
Berikut ini sejarah tradisi Ngarot beserta tujuan, cara pelaksanaan, dan mitos yang menyertainya.
Baca juga: Tradisi Palang Pintu, Cara Masyarakat Betawi Menguji Pengantin Pria
Ngarot dalam bahasa Sunda dikenal juga dengan istilah "ngaleueut", yang artinya minum atau menikmati jamuan.
Konon, tradisi ini dirintis oleh kuwu (kepala desa) pertama di Lelea yang bernama Canggara Wirena pada 1686.
Tradisi Ngarot merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil bercocok tanam yang melimpah dan petani akan memulai masa tanam kembali.
Selain itu, Canggara Wirena juga menggelar tradisi ini untuk berterima kasih kepada Ki Kapol, tetua Lelea pada zaman dulu, yang telah mewariskan tradisi mengajari anak muda bercocok tanam.
Semasa hidup, Ki Kapol merelakan tanahnya seluas 2.610 hektare untuk digunakan perjaka dan gadis berlatih cara bertani yang baik.
Di situ, anak muda belajar mencangkul, menanam padi, menyiangi rumput, dan memotong padi ketika panen.
Baca juga: Perang Obor, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Jepara
Para gadis juga diajari untuk membuat makanan dan minuman bagi lelaki yang mengerjakan lahan.
Dari situlah, tradisi Ngarot terus dilakukan setiap tahunnya dan kemudian berkembang menjadi ajang mencari jodoh.
Tradisi Ngarot dilakukan untuk beberapa tujuan, di antaranya:
Baca juga: Tradisi Nyadran: Sejarah dan Pengaruh Islam