KOMPAS.com - Paradigma naratif adalah teori yang meyakini bahwa manusia adalah seorang homo narrans atau pencerita.
Teori ini dikembangkan oleh Walter Fisher. Konsep ini didasarkan pada model komunikasi tertua, yakni story telling atau bercerita.
Apa itu teori paradigma naratif?
Dikutip dari situs Communication Theory, narasi atau naratif adalah semua penafsiran verbal dan non-verbal yang disusun secara logis, untuk menghasilkan makna.
Proses komunikasi ini, salah satunya, dipengaruhi oleh pengalaman juga faktor lainnya di masa lampau.
Baca juga: Paradigma Naratif: Asumsi dan Konsepnya
Secara garis besar, konsep paradigma naratif menjunjung tinggi proses komunikasi antara narator juga pendengar, dalam bentuk cerita.
Dilansir dari jurnal Studi Paradigma Naratif Walter Fisher pada Aktivitas "Nongkrong" di Kalangan Remaja Madya (2013) oleh Juanita Tamtama dan Glorya Agustiningsih, paradigma naratif menekankan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk pencerita.
Paradigma naratif adalah teori yang meyakini bahwa manusia merupakan seorang pencerita, dengan pertimbangan nilai, emosi, juga estetika.
Ketiga hal tersebut, menurut Walter Fisher, menjadi landasan utama bagi manusia untuk berperilaku dan bersikap yakin.
Baca juga: Perbedaan Antara Paradigma Naratif dan Paradigma Dunia Rasional
Ada dua prinsip penting dalam teori paradigma naratif, yakni koherensi serta kesetiaan.
Apa pun kontennya, konten itu akan efektif, jika dirasa masuk akal bagi pendengarnya. Adapun koherensi adalah tingkat pemahaman narasi yang dipengaruhi oleh:
Prinsip kedua ini menggarisbawahi pentingnya kredibilitas atau keandalan cerita yang dinarasikan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh persuasi pendengar itu sendiri.
Beberapa hal yang memengaruhi prinsip ini adalah:
Baca juga: Syarat-syarat Komunikasi Efektif yang Harus Kamu Ketahui
Asumsi dasar teori paradigma naratif adalah manusia merupakan makhluk pencerita.
Dalam berkomunikasi, manusia pasti menceritakan hal-hal yang pernah dialaminya di masa lampau, disertai argumen yang sesuai.
Sebagai contoh, tokoh agama menyampaikan pengalaman religiusnya di hadapan ratusan atau ribuan orang.
Dalam penyampaiannya, tokoh agama tersebut akan menggunakan sejumlah argumen yang didasarkan pada ayat atau ajaran agama.
Tujuannya, agar pendengar yakin dan memercayai pengalaman tersebut.
Selain didorong oleh keyakinannya, pendengar akan terpersuasi karena tokoh agama tersebut memiliki kredibilitas, narasi yang masuk akal, dan argumennya mendukung.
Baca juga: Komunikasi Persuasif: Pengertian serta Tujuannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.