Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Istilah "Goro-Goro" dalam Dunia Pewayangan?

Kompas.com - 19/05/2024, 09:00 WIB
Eliza Naviana Damayanti,
Serafica Gischa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tokoh Punakawan yang terdiri dari Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong, adalah tokoh-tokoh yang selalu ditunggu-tunggu dalam setiap pagelaran wayang di Jawa.

Sebenarnya dalam cerita wayang yang asli dari India tidak ada tokoh Punakawan. Punakawan hanyalah merupakan "bahasa halus" dan "bahasa komunikatif" yang diciptakan oleh para Sunan atau Wali di tanah Jawa.

Para tokoh Punakawan dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam. Para Wali dalam penyebaran agama Islam selalu melihat kondisi masyarakat baik dari adat istiadat maupun dari budaya yang berkembang saat itu.

Wayang merupakan suatu media efektif untuk penyampai misi ini. Namun, para Wali memandang bahwa cerita wayang yang diusung dari negara asalnya India ternyata banyak yang berbau Hindu, animisme dan dinamisme. Mereka juga melihat pakem wayang India tersebut kurang komunikatif.

Baca juga: Fakta Tokoh Wayang Arjuna

Masyarakat hanya diminta duduk diam melihat sang dalang memainkan lakonnya. Tentu tidak semua orang mau untuk menikmati adegan demi adegan semacam ini semalam suntuk.

Maka para Wali menciptakan suatu tokoh yang sekiranya mampu berkomunikasi dengan penonton, lebih fleksibel, mampu menampung aspirasi penonton, lucu dan yang terpenting dalam memainkan para tokoh punakawan ini sang dalang dapat lebih bebas dalam menyampaikan misinya karena tidak harus terlalu terikat pada pakem yang ada.

Pengertian goro-goro

Tokoh Punakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiap pertunjukkan wayang antara satu lakon dengan lakon yang lain.

Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh membunuh antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan, mengapa?

Dalam falsafah orang Jawa, hal ini diartikan bahwa "janganlah emosi, kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada, jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya".

Ketika lakon goro-goro selesai dimainkan, barulah ada adegan yang menggambarkan peperangan dan pertumpahan darah. Itu dapat diartikan, jika musyawarah tidak dapat dilakukan, maka ada cara lain yang dapat ditempuh dalam menegakkan kebenaran.

Dalam Islampun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang tidak berbeda dengan tahap-tahap yang ada dalam dunia peayangan ini.

Dalam mengajak pada kebenaran atau mencegah kemungkaran, para pendakwah awalnya harus memberi peringatan (Bi Lisani) dengan baik, jika tidak mau, beri peringatan dengan keras. Jika masih tidak mau, kita dapat menggunakan kemampuan maksimal kita dalam mengupayakan penegakan kebenaran (termasuk jihad).

Nah, lakon goro-goro jelas sekali menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar sampai kelihatan jelas.

Ini merupakan suatu hasil dari sebuah doa yang terkenal Allahuma arinal Haqa-Haqa warzuknat tibaa wa'arinal bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya "Ya Allah, tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya. Semua menjadi jelas mana yang benar dan yang salah".

Hingga akhir dari cerita wayang, para tokohnya yang berada dijalur putih akan memenangkan pertempuran melawan kejahatan, setelah benar-benar mengetahui mana jalan yang benar dan mengerti masalahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com