Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gempa Cianjur Tunjukkan Pemerintah Tak Punya Peta Operasi Mitigasi Gempa

Kompas.com - 29/11/2022, 17:08 WIB
The Conversation,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

Oleh: Jonatan A Lassa

GEMPA magnitudo 5,6 di Cianjur dan sekitarnya-dengan kedalaman episentrum 10 kilometer-mengakibatkan korban meninggal dan hilang sebanyak 332 jiwa per 27 November.

Selain korban jiwa, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah korban luka atau cedera sekitar 7.700 karena tertimpa reruntuhan bangunan; pengungsi 58 ribu orang, serta setidaknya 22 ribu unit rumah dan 25 sekolah rusak.

Terjadi semacam “siklus magis” yang terpola: setiap terjadi peristiwa gempa dangkal yang signifikan dari sisi magnitudo dan lama goyangan, seringkali diikuti dengan tingkat kerusakan yang besar disertai kematian yang seharusnya bisa dicegah.

Lalu, muncul juru bicara lembaga teknis pemerintah terkait yang menjelaskan mengapa gempa terjadi, karakteristik, dan sumbernya serta standar pesan soal kondisi bangunan rumah rakyat maupun kualitas gedung pemerintah dan swasta yang tidak mampu melawan kekuatan gaya gempa.

Baca juga: Apa Saja Mitigasi Gempa yang Harus Dilakukan, Belajar dari Gempa Cianjur?

Fokus penanganan bencana yang sekedar direduksi hanya dalam bentuk distribusi bantuan darurat multi-pihak yang peduli pada kemanusiaan juga sudah berulang kali dikritisi.

Sesungguhnya, status quo siklus di atas berupa imbauan tiap akhir keterangan pers terkait perlunya struktur bangunan yang aman gempa tidak lagi cukup.

Punya peta tapi tak punya operasi mitigasi

Secara prinsip, pemerintah memahami masalah mendasar mengapa gempa magnitudo 5,6 cukup merusak di Cianjur dan sekitarnya.

Pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, misalnya, mengatakan ada tiga faktor utama yang menyebabkan kerusakan parah: (1) karakter (kedalaman) gempa dangkal, (2) struktur bangunan tidak memenuhi standar aman gempa, dan (3) lokasi permukiman berada pada tanah lunak (efek tapak) dan perbukitan (efek topografi).

Pola komunikasi di atas sering berulang dalam 15 tahun reformasi tata kelola bencana di Indonesia, yaitu sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah sudah memiliki peta kegempaan Indonesia yang memberi informasi, salah satunya soal bahaya kegempaan berdasarkan data percepatan gempa. Solusi praktis aman gempa bagi keluarga sederhana juga sudah dimiliki.

Namun, pemerintah seharusnya memiliki peta operasi mitigasi gempa yang lumrah dibuat dalam skala "by name, by address". Ini perlu diikuti dengan pemantauan rutin setiap rumah dan gedung yang dibangun di tiap jengkal di Republik ini.

Baca juga: Gempa Cianjur yang Merusak Termasuk Gempa Kerak Dangkal, Apa Itu?

Ibarat memiliki kompas tanpa menggunakannya adalah sebuah tragedi karena berakibat nyawa meregang dalam setiap kejadian gempa.

Setelah pendirian lembaga penanganan bencana di tingkat nasional (BNPB) dan di daerah (BPBD), pemerintah belum punya peta yang jelas soal bagaimana operasionalisasi kebijakan mitigasi. Pemerintah seharusnya memiliki peta penegakan mitigasi yang ‘by name, by address’.

Ketimbang bermain wacana terkait revisi UU Penanganan Bencana dengan ‘agenda pembubaran’ BNPB/BPBD - lembaga-lembaga yang sudah ada itu bersama instansi terkait bisa fokus mengidentifikasi tingkat kerentanan rumah dan bangunan yang bersifat ‘by name, by address’.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com