Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Erupsi Gunung di Alaska Picu Munculnya Kekaisaran Romawi, Kok Bisa?

Kompas.com - 24/06/2020, 08:03 WIB
Yohana Artha Uly,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pembunuhan Julius Caesar pada tahun 44 sebelum masehi (SM) memicu hampir dua dekade perang saudara untuk merebutkan kekuasaan. Peristiwa ini menyebabkan jatuhnya Republik Romawi dan kebangkitan Kekaisaran Romawi.

Catatan sejarah menyebutkan, pada periode perang saudara tersebut ditandai dengan penampakan aneh di langit, cuaca dingin yang luar biasa, dan bencana kelaparan yang meluas.

Melansir Science Alert, Selasa (23/6/2020), sebuah studi baru yang telah dipublikasikan pada jurnal Posiding National Academy of Sciences mencatat letusan gunung berapi di Alaska mungkin menjadi penyebab tiga kondisi yang terjadi pada masa perang tersebut. 

Baca juga: Ahli Temukan Gim Papan Berusia 1.700 Tahun Peninggalan Romawi Kuno

Tim ilmuwan dan sejarawan internasional melakukan analisis abu vulkanik (tephra) yang ditemukan di inti es Kutub Utara.

Mereka menghubungkan periode iklim ekstrem yang tidak dapat dijelaskan di Mediterania, dengan letusan pembentuk gunung berapi Okmok di Alaska pada tahun 43 SM.

"Untuk menemukan bukti bahwa ada gunung berapi di sisi lain Bumi yang meletus, dan secara efektif berkontribusi pada runtuhnya Republik Romawi dan Mesir, serta munculnya kebangkitan Kekaisaran Romawi adalah hal yang sangat menarik," kata Joe McConnell dari Desert Research Institute (DRI) di Reno, Nevada.

Kemunculan Kekaisaran Romawi memang turut mengakhiri kekuasaan firaun, setelah Dinasti Ptolemeus, sebuah peradaban Mesir kuno, ditaklukan dan dijadikan sebagai bagian dari provinsi Romawi.

"Jadi ini jelas menunjukkan betapa saling berhubungannya peristiwa di dunia, bahkan pada 2.000 tahun yang lalu," tambahnya.

Baca juga: Begini Rupa Modern Tokoh Sejarah Ratu Mesir Nefertiti hingga Mona Lisa

McConnell dan peneliti Swiss Michael Sigl mulai menyelidiki masalah ini ketika tahun lalu mereka menemukan lapisan abu yang terawetkan dengan baik dalam sampel inti es.

Pengukuran kemudian dilakukan pada inti es dari Greenland dan Rusia, beberapa di antaranya dibor pada 1990-an dan diarsipkan. Mereka menemukan dua letusan yang berbeda dari abu vulkanik tersebut.

Terdiri dari sebuah peristiwa yang kuat namun terlokalisir dan berjangka waktu pendek pada awal 45 SM, diikuti oleh peristiwa yang jauh lebih besar dan lebih luas di 43 SM, dengan bencana yang berlangsung lebih dari dua tahun.

Peneliti melakukan analisis geokimia pada sampel abu yang ditemukan dalam es dari letusan kedua, dan sangat cocok dengan peristiwa Okmok, salah satu letusan terbesar dalam 2.500 tahun terakhir.

Tim mengumpulkan lebih banyak bukti pendukung di seluruh dunia, mulai dari catatan iklim berdasarkan cincin pohon di Skandinavia hingga formasi gua di timur laut Cina.

Data ini dimasukkan ke dalam model iklim, yang menunjukkan bahwa dua tahun setelah letusan adalah masa yang paling dingin di belahan bumi utara selama 2.500 tahun.

Baca juga: Punya Balon Kata, Lukisan Dinding Zaman Romawi Kuno Ini Mirip Komik

Setelah letusan, suhu rata-rata musiman mungkin mencapai tujuh derajat celsius di bawah normal untuk musim panas dan musim gugur, dengan curah hujan musim gugur mencapai setinggi 400 persen dari normal di wilayah Eropa selatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com