Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Film Raya and The Last Dragon Suarakan Pesan Kemanusiaan dan Kesetaraan Gender

Kompas.com - 19/03/2021, 12:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

FILM produksi Walt Disney yang berjudul Raya dan The Last Dragon tayang pada 3 Maret 2021 di seluruh bisokop Indonesia dan platform streaming Disney Plus hingga hari ini. Dilansir dari laman IMDb, film ini berhasil mendapat rating 7.5/10 dari 27.825 penilai.

Film animasi garapan sutradara Carlos Lopeza Estrada dan Don Hall ini menjadi film produksi Walt Disney pertama yang terinspirasi dari budaya Asia Tenggara. Tidak heran jika kita dapat menikmati unsur budaya Indonesia dalam film ini seperti senjata Raya yang menyerupai keris, caping, batik, hingga dentingan suara gamelan sebagai backsound musik.

Raya and the Last Dragon bercerita tentang petualangan gadis remaja, Raya (Kelly Marie Tran), dalam mencari naga terakhir, Sisu (Awkwafina) untuk menyelamatkan dunia.

Baca juga: Kenalan dengan 11 Karakter Raya and The Last Dragon yang Kental Budaya Asia Tenggara

Dahulu kala di pulau Kumandra, naga dan manusia hidup berdampingan secara harmonis hingga suatu Druun, wabah penyakit yang tercipta dari perselihan manusia, menghancurkan segalanya.

Druun mampu mengubah siapa saja yang disentuhnya menjadi batu, termasuk para naga. Namun, sebelum diserang, para naga telah menggabungkan sihir mereka dan menciptakan bola permata sihir yang berhasil memusnahkan Druun dan menghidupkan kembali manusia yang sebelumnya menjadi batu.

Akan tetapi, semua naga tetap menjadi batu, kecuali Sisu (the last dragon). Sejak saat itu Sisu menghilang dan meninggalkan permata sihirnya.

Kekhawatiran manusia akan kembalinya Druun membuat mereka saling berebut bola permata yang berujung pada terpecahnya Kumandra menjadi beberapa wilayah di antaranya Heart (tempat Raya tinggal), Fang, Spine, Talon, dan Tail.

Perkelanaan Raya dimulai sekitar 500 tahun kemudian ketika Benja (Daniel Dae), kepala suku Heart, yang juga ayah Raya, mengundang seluruh suku untuk berdamai dan kembali bersatu menjadi Kumandra.

Baca juga: Raya and the Last Dragon Bukukan Rp 123 Miliar di Box Office Dunia

Sayangnya, di tengah jamuan, Namaari (Gemma Chan) dari suku Fang yang juga menjadi musuh kecil Raya berkhianat dan berniat mencuri permata sihir.

Bola permata akhirnya pecah menjadi lima bongkahan dan dicuri oleh masing-masing suku untuk menyelamatkan wilayah mereka dari serangan Druun.

Pecahnya permata sihir sekaligus mengawali bangkitnya Druun dan mengubah semua manusia yang disentuhnya menjadi batu, termasuk Benja.

Sejak itu Raya mulai memburu permata sihir dan mencari Sisu untuk menyatukan pecahan permata sihir demi misi memusnahkan Druun dan menghidupkan kembali orang-orang yang menjadi batu.

Film sebagai komunikasi massa dan sarana kritik sosial

Sebagai artefak budaya populer (Hebdige, 1988), film merupakan media komunikasi massa yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan ke khalayak karena kemampuannya yang melampaui batas teritorial dan segmen sosial.

Dalam bukunya How to Read a Film, James Monaco (2009) mengatakan bahwa film dapat berfungsi sebagai sarana kritik sosial. Begitu pun dengan pesan di balik film Raya and the Last Dragon yang mengangkat dua tema besar yaitu keserakahan dan kepercayaan

Baca juga: Raya and The Last Dragon, Film Animasi yang Terinspirasi dari Keragaman Budaya Asia Tenggara

Berkaca pada realitas sosial, film ini sangat apik dalam menyontohkan dampak buruk dari ketamakan manusia melalui peristiwa perebutan permata sihir sebagai simbol perebutan kekuasaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com