TEHERAN, KOMPAS.com - Setelah protes nasional tahun lalu dan semakin banyak wanita yang menentang hukum jilbab, polisi moral secara efektif menghilang dari jalan-jalan di Iran.
Namun, pihak berwenang telah meluncurkan kampanye baru untuk menegakkan hukum.
Pada hari Minggu (16/7/2023), Saeid Montazeralmahdi, juru bicara kepolisian Iran, mengkonfirmasi bahwa patroli dengan kendaraan dan berjalan kaki akan dikerahkan.
Baca juga: Polisi Moral Iran Lancarkan Lagi Patroli Jilbab, 10 Bulan Setelah Kematian Mahsa Amini
Dia, dikutip oleh kantor berita resmi IRNA, seperti dilansir dari DW, menyatakan bahwa polisi pada awalnya akan mengeluarkan peringatan kepada wanita yang tidak patuh dan merujuk mereka yang tetap melanggar hukum ke peradilan.
Pada bulan September tahun lalu, seorang wanita Kurdi berusia 22 tahun bernama Mahsa Jina Amin meninggal dunia di rumah sakit, tiga hari setelah ditangkap oleh polisi moral karena mengenakan jilbab yang tidak sesuai.
Kematiannya, yang diduga disebabkan oleh penganiayaan, memicu protes nasional yang mengguncang negara tersebut selama berbulan-bulan.
Tanggapan keras pihak berwenang mengakibatkan kematian ratusan orang. Banyak wanita menolak untuk menyerah dan semakin banyak yang berani tampil di depan umum tanpa menutupi kepala mereka.
Pada bulan Desember, para pejabat menyatakan bahwa polisi moral telah dibubarkan.
Namun, baru-baru ini ada laporan tentang kembalinya polisi moralitas oleh beberapa jurnalis dan pengguna media sosial di ibu kota Iran, Teheran, dan juga kota-kota lain.
Pada hari Minggu, sebuah video mulai beredar di media sosial yang menangkap momen ketika puluhan orang yang lewat turun tangan untuk mencegah petugas polisi moral menangkap tiga wanita di kota utara Rasht.
Menurut Azadeh Kian-Thiebaut, seorang sosiolog di Paris Cite Universite, rezim Iran secara umum tetap teguh dalam menegakkan kebijakan hijab wajib, yang dianggap sebagai pilar utama revolusi yang membawanya ke tampuk kekuasaan.
Ketika menghadapi ketidakpuasan publik, rezim ini mencoba mengubah citra dan menemukan kembali metode penegakannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah mulai menerapkan teknologi pengenal wajah pada transportasi umum dan juga menutup pusat perbelanjaan, kafe dan restoran yang menerima perempuan tanpa hijab.
Pihak berwenang juga telah menekan para sopir taksi untuk tidak menerima perempuan yang tidak berhijab.
Namun, Kian-Thiebaut mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut tidak menghalangi para wanita untuk menolak mematuhi hukum.