ADDIS ABABA, KOMPAS.com - Uni Afrika (UA) mengutuk "gelombang" kudeta militer baru-baru ini, yang membuat empat negara anggotanya diskors dalam setahun.
Ini adalah pertama kalinya tindakan seperti itu dilakukan terhadap begitu banyak negara dalam periode 12 bulan.
Kondisi terkini memicu kekhawatiran tentang apa yang digambarkan pejabat tingginya sebagai "kemunduran” demokrasi.
Baca juga: 11 Negara yang Pernah Alami Kudeta Militer
Pemberontakan adalah salah satu isu utama yang diangkat pada pertemuan puncak dua hari, meskipun para pemimpin dari seluruh benua juga terjebak dalam diskusi panas mengenai hubungan Uni Afrika dengan Israel.
Kurang dari dua minggu sebelum KTT dimulai Sabtu (5/2/2022), Burkina Faso menjadi negara keempat yang diskors oleh AU, setelah tentara yang tidak puas menggulingkan Presiden Roch Marc Christian Kabore.
Guinea, Mali dan Sudan ditangguhkan keanggotaannya tahun lalu.
"Setiap pemimpin Afrika di majelis mengutuk dengan tegas... gelombang perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional," Bankole Adeoye, kepala Dewan Perdamaian dan Keamanan UA, mengatakan pada konferensi pers Minggu (6/2/2022).
"Tidak pernah dalam sejarah Uni Afrika kami memiliki empat negara (diskors) dalam satu tahun kalender, dalam 12 bulan, ditangguhkan," kata Adeoye.
"Ini memberi kesan bahwa Afrika sedang mundur ke periode ketika kudeta terjadi di Afrika, dan itu tidak dapat diterima," Moussa Faki Mahamat, ketua Komisi Uni Afrika, mengatakan pada konferensi pers setelah sesi terakhir KTT pada Minggu (6/2/2022) seperti dilansir AFP.
Baca juga: Latar Belakang Kudeta Militer Burkina Faso dan Penahanan Presiden Roch Kabore
UA telah dituduh memberikan tanggapan yang tidak konsisten, terutama dengan tidak menangguhkan Chad setelah pengambil alihan dewan militer menyusul kematian Presiden lama Idriss Deby Itno di medan perang April lalu.
Sementara Adeoye menggembar-gemborkan penggunaan penangguhan UA sebagai bentuk hukuman bagi para pemimpin kudeta. Para analis mengatakan badan tersebut harus lebih proaktif untuk mencegah kudeta.
"Hanya ketika krisis melanda kita berkata, 'Astaga, kenapa negara ini hancur begitu cepat?'" Solomon Dersso, pendiri think-tank Amani Afrika yang berfokus di AU, mengatakan kepada AFP minggu ini.
Jumlah kudeta di Benua Afrika telah menurun, dengan menyebarnya pemilihan umum dan transfer kekuasaan secara damai.
Dua negara di mana tentara telah merebut kekuasaan baru-baru ini - Burkina Faso dan Mali - telah berjuang menahan pemberontakan ekstremis.
Baca juga: Upaya Kudeta Guinea-Bissau Gagal, Presiden Selamat dari Baku Tembak, Investigasi Digelar
Pekan lalu, ada percobaan kudeta di Guinea-Bissau, yang dituding presiden dilakukan oleh geng-geng penyelundup narkoba. Negara ini terletak di titik transit utama antara negara-negara penghasil kokain di Amerika Latin dan pasar di Eropa.
Pekan lalu, Presiden Ghana Nana Akufo-Addo mengatakan kudeta di Mali telah "menular", mendorong perwira militer di tetangganya di Afrika Barat, Guinea dan Burkina Faso, untuk mengikutinya.
Sementara kudeta di Afrika Barat disambut oleh banyak warga di negara-negara tersebut, pengambilalihan militer di Sudan pada Oktober 2021 telah menyebabkan banyak protes jalanan menuntut kembalinya pemerintahan sipil.
Perlawanan warga sipil itu telah ditanggapi dengan kekuatan kejam militer, di mana puluhan demonstran telah tewas.
Baca juga: Perdana Menteri Sudan Mengundurkan Diri Setelah 57 Orang Tewas dalam Protes Anti-kudeta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.