Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Waode Nurmuhaemin
Penulis

Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Platform Merdeka Mengajar di Pusaran Badai

Kompas.com - 16/01/2024, 08:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENDIDIKAN adalah pilar utama dalam membentuk karakter dan pengetahuan generasi muda. Di balik gemerlapnya ruang kelas dan suksesnya sistem pendidikan, terdapat tantangan yang tak terelakkan.

Salah satu tantangan yang muncul adalah keberanian guru untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus-menerus menghantam dunia pendidikan.

Meskipun sebagian besar guru dengan gigih berusaha menyesuaikan diri, masih banyak juga yang cenderung bersikap manja dan enggan mengikuti arus perubahan.

Dalam sejarah hasil tes PISA selama 23 tahun, OECD dalam laporannya selalu mengingatkan untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia.

Disinyalir, faktor kualitas guru menjadi salah satu kunci yang menyebabkan pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata berkualitas. Guru adalah ujung tombak dan eksekutor kurikulum di lapangan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai nakhoda yang memimpin dunia pendidikan di Indonesia, terus berupaya membuat kebijakan yang bisa meningkatkan potensi dan mutu guru.

Salah satunya pada 2024 ini, pengisian kinerja guru melalui Platform Merdeka Mengajar, termasuk mengunggah sertifikat webinar dan seminar atau workshop.

Di sinilah masalahnya dimulai. Banyak guru yang kemudian mengeluh di medsos. Terlihat mereka merasa keberatan dengan kewajiban mengunggah sertifikat. Padahal, hal itu merupakan sarana untuk meningkatkan kompetensi mereka.

Webinar, seminar, workshop adalah kegiatan yang sangat bagus untuk para guru. Mereka hanya perlu melakukan manajemen waktu yang lebih baik agar semuanya berjalan dengan lancar.

Anehnya lagi, para guru yang mengeluh tersebut masih bisa aktif di medsos, yang saya yakin jika diakumulasi bisa berjam-jam dalam satu hari. Padahal, waktu tersebut bisa dipakai untuk mengikuti webinar yang bisa mendapat satu E sertifikat.

Seharusnya untuk meningkatkan kompetensi guru seperti mengikuti webinar, tidak perlu diwajibkan oleh kementerian. Begitu potret guru di negara-negara maju. Mereka dengan kesadaran sendiri ikut seminar, workshop, bahkan punya program membaca sejumlah buku setiap tahun.

Bagaimana guru Indonesia? Berapa banyak yang gemar membaca dan punya target membaca buku satu tahun?

Nilai PISA membaca Indonesia adalah yang terendah selama 23 tahun. Skor Indonesia sama dengan Palestina, negara yang setiap hari digempur Israel.

Saya menduga siswa tidak tertarik membaca, karena mereka juga melihat guru-guru tidak suka membaca.

Selama ini hanya minat baca siswa yang dipersoalkan. Bagaimana minat baca guru? Apakah para guru di Indonesia minat bacanya tinggi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com