Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar Ukrida Angkat Peran Kearifan Lokal Saat Jadi Pembicara di Harvard dan UCLA AS

Kompas.com - 08/01/2024, 14:21 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Prof. Johana Endang Prawitasari menjadi pembicara dalam kuliah umum di Harvard University dan UCLA Center for Southeast Asia Studies di Amerika Serikat pada akhir tahun 2023.

Dalam pemaparannya, Prof. Johana Endang mengusung tema "The Psychology of Indonesian Communities on Javanese Cultural Psychology".

Saat di Harvard University, Prof. Johana mengangkat studi kasus kondisi sosial masyarakat di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Contoh yang sekaligus menjadi studi kasus ini kemudian menjadi pembahasan menarik dan interaktif.

Berawal dari serangkaian kegiatan penelitian bersama dalam Action Research Design, yang kemudian melahirkan gagasan pendekatan melalui seni dan budaya, guna merepresentasikan kondisi sosial masyarakat.

Latar belakang penelitian berlanjut ke pengabdian pada masyarakat, di mana gempa tahun 2006 tersebut menyisakan penderitaan, peluang sekaligus tantangan.

Selain pemberian bantuan, ditemukan juga potensi masalah sosial karena dirasakan adanya ketidakadilan distribusi bantuan.

Konteks penelitian dipaparkan meliputi karakteristik kehidupan beragama setempat, psikologi budaya masyarakat Jawa, karakteristik kehidupan masyarakat pedesaan, dan konteks sosial-ekonomi.

Saat itu, dalam pengamatan terhadap kondisi masyarakat sempat ditawarkan Srandul, yaitu drama tari dan merupakan seni tradisional kerakyatan dari Yogyakarta yang didasarkan pada kearifan masyarakat setempat.

Namun setelah melalui dialog dalam komunitas, kemudian bersama masyarakat setempat secara khusus disajikan sosiodrama (social artistry) pascagempa, di mana melalui pentas seni itu tercermin terjadinya konflik sosial.

Baca juga: Guru Besar UI Ungkap Penyebab Penuaan Dini di Usia Produktif

 

Pascamusibah gempa bumi itu ternyata terjadi ketidakadilan distribusi bantuan.

Warga masyarakat korban gempa memperoleh bantuan dana karena memiliki KTP setempat, sementara yang rumahnya hancur karena gempa malah tidak memperoleh bantuan dana karena tidak memiliki KTP setempat.

Setelah beberapa waktu, untuk menyikapi kondisi demikian, setiap RT atau dusun membuat skenario drama sendiri sebelum, saat, dan setelah gempa. Dalam proses latihan drama terjadi gotong royong dan kerukunan mulai terjalin.

Hal demikian menjadi salah satu upaya bersama guna mengatasi trauma sosial yang terjadi, dan masyarakat setempat merespon kegiatan sosiodrama dengan sangat positif.

Revitalisasi kearifan lokal lewat sosiodrama

“Tujuan pementasan sosiodrama tersebut adalah agar konflik sosial itu dapat tercermin untuk kemudian bisa mencari solusi bersama," ungkap Prof. Johana.

Saat sosiodrama diulangi di tahun 2017, para pemain drama di tahun 2007 sudah berusia lebih dari setengah abad. Saat sosiodrama kembali dipentaskan dalam kegiatan pengabdian masyarakat (abmas) di Bantul, yang berperan serta dalam riset tindakan adalah generasi muda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com