Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Perundungan dan Kekerasan di Dunia Pendidikan: Pentingnya Pendekatan Etnografis

Kompas.com - 02/10/2023, 09:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS kekerasan di dunia pendidikan belum selesai atau bahkan tidak akan pernah selesai. Hal tersebut terindikasi pada kasus belakangan ini yang justru kembali membuka babak baru.

Kurang dari seminggu, tiga kasus kekerasan menyita perhatian publik. Perundungan fisik siswa Cilacap, bunuh diri siswi sekolah dasar di Jakarta, sampai paling ekstrem siswa bacok guru di Demak.

Hadirnya media sosial dapat menjadi penyebab persoalan-persoalan serupa perlahan akan terunggah dengan sendirinya.

Saya selaku konten kreator pendidikan banyak mendapat unggahan kekerasan dan tawuran.

Apa yang saya dapati tidak terlalu mengherankan—mengingat kekerasan dalam dunia pendidikan merupakan persoalan laten, klasik, pelik, sekaligus kompleks.

Saya sewaktu zaman sekolah sudah sering mendapati kasus-kasus demikian. Entah terlibat langsung ataupun sebagai penerima pesan dan cerita.

Hanya dulu setiap kasus hadir lalu hilang begitu saja, tidak terekam, menjadi legenda cerita saat acara reuni.

Namun fenomena serupa hari ini menjadi lain, justru terkuak dan terkonsumsi lewat video-video amatir dengan kesengajaan pengunggahan.

Dari sini kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa kekerasan dan perundungan dalam dunia pendidikan adalah persoalan lintas generasi.

Artinya, bukan terjadi pada periode tertentu, melainkan semacam budaya yang terwariskan entah dimulai sejak kapan dan di mana.

Di sini, pemerintah sudah harus pasang alarm bahwa pendekatan psikologi, pendidikan, terlebih lagi manajemen tidak relevan lagi. Kita perlu sosok pejabat yang paham betul persoalan-persoalan antropologi dan etnografis.

Sebelum membahas lebih lanjut perihal fungsi dan peran antropologi-etnografis dalam solusi persoalan perundungan dan kekerasan di dunia pendidikan, kita perlu lebih dahulu mendalami, mengurai, dan memberi pijakan penyebab perundungan dan kekerasan di dunia pendidikan.

Seperti pengaruh sikap warga maya, desain algoritma, hingga pendidikan digital itu sendiri.

Warga digital sedang sakit sosial

Bila diperhatikan lebih berimbang, persoalan paling mencolok dari perundungan dan kekerasan adalah sasaran sorot kamera dan justifikasinya. Apakah pelaku dan korban sebatas pemukul/dipukul atau perundung/dirundung?

Kita gagal memahami bahwa perundungan dan kekerasan merupakan ruang lingkup kalkulasi kebudayaan—yang di dalamnya tentu adalah masyarakat.

Artinya, semua dari kita terlibat secara tidak langsung atas bentukan budaya perundungan dan kekerasan tersebut. Terlebih lagi bila masuk pada tataran masyarakat digital.

Kemarin, ketika fenomena Citayam Fashion Week viral, lihat saja kolom komentar setiap unggahan yang isinya wawancara pemuda Citayam.

Kalian akan mendapati jumlah perundungan verbal tanpa batas di kolom komentar. Mulai dari komen bernuansa serangan fisik, psikis, materi, sampai model-model hinaan berupa candaan menjadi legal dan diperbolehkan.

Unggahan atas fenomena Citayam cuma kerikil kecil. Kalau ingin real time, perundungan verbal semacam itu dapat dilihat pada kolom komentar konten perundungan itu sendiri atau konten-konten yang muatannya bernuansa kelas, materi, gaya, dan abnomarlisasi perilaku.

Di sana warga digital akan berkumpul atas nama perayaan kehadiran sebelum akhirnya melancarkan perundungan secara komunal.

Dikotomi dan hierarki menjadi sumber tanpa batas alias bahan bakar abadi bagi penentu verbalitas. Singkatnya, ada perundungan di dalam dan di luar perundungan.

Ditambah lagi, dalam hiperconnected society (masyarakat hiperkoneksi), interaksi masyarakat bukan lagi person to person, melainkan sudah berbaur person to engine to person.

Jadi, konsep perundungan verbal berbasis ruang maya tersebut terdukung dengan kuat melalui bantuan pengelompok super otomatis. Hal itu lebih mudah disebut algoritma.

Apakah pernah dicari tahu bagaimana algoritma bisa memengaruhi perilaku? Apa mungkin saja, isi beranda pembacok guru, siswi bunuh diri, dan kekerasan pelajar penuh dengan konten-konten bernuansa kekerasan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com