PENDIDIKAN memiliki daya tarik yang tak pernah pudar. Sayangnya, pendidikan di Indonesia terkadang terjebak dalam pengulangan masalah lama tanpa mengatasi akar permasalahannya.
Meskipun sudah 78 tahun merdeka, persoalan pendidikan yang lama masih belum menemukan titik terang.
Saya teringat isi Majalah Basis Edisi Khusus Pendidikan (2002). Edisi tersebut dimaksudkan untuk memperingati 100 tahun Mohammad Hatta.
Tulisan yang termuat secara khusus mengurai persoalan pendidikan. Mulai dari ketimpangan, ketidakadilan akses, batas antara pendidikan dan pengajaran, kebebasan murid, posisi dan kualitas guru, manajemen sekolah, hingga revolusi anak-anak.
Ada nama Karlina Laksono Supeli, Haryatmoko, B Herry Priyono, Sindhunata, hingga Louis Leahy di dalamnya.
Persoalan yang dibawa dan dibicarakan 20 tahun silam itu, ternyata sampai hari ini masih jadi sumber persoalan.
Sekalipun pemerintah mengakui ada perubahan dan perkembangan dalam pendidikan, biasanya dirangkum sebatas laporan angka-angka dan survei.
Negara belum sepenuhnya menjawab beban tugas dari undang-undang: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau sudah begini, pendidikan Indonesia sebenarnya sedang dalam posisi apa? Maju, mundur, atau justru diam pada porosnya?
Dharmaningtyas, pemerhati senior pendidikan dalam podcast bersama Akbar Faizal berani tegas mengatakan, “Kalau Nadiem Makarim Menteri Pendidikan terburuk yang pernah ada”.
Bagi sosok yang sudah mengikuti pendidikan 40 tahun, cuma bisa tertawa melihat kebijakan kurikulum pendidikan hari ini (kurikulum merdeka). Menurut dia, tidak ada tawaran baru pada kurikulum merdeka selain berganti nama.
Kalau diperhatikan, apa yang dikatakan Dharmaningtyas sangatlah relevan. Apa sih ciri tawaran dari menteri Nadiem Makarim? Tentu kebanyakan orang akan menjawab, fokus dan berpihak ke anak, merdeka belajar, kebebasan, diferensiasi, guru penggerak, penyediaan aplikasi, dan fleksibilitas sekolah.
Apa semua itu tawaran baru? Rasanya sulit mengatakan iya, lantaran semua terobosan Nadiem Makarim merupakan konsep-konsep dasar yang sebetulnya sudah ada dan dijalankan selama ini.
Misalnya, fokus dan berpihak ke anak. Perlu diketahui bersama, tahun 1984, nama kurikulum Indonesia adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Di sana, konsepnya bukan lagi fokus ke anak, melainkan anak sudah diarahkan dan diharapkan aktif. Melompat 20 tahun ke depan (2004), nama kurikulum Indonesia Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).