Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Siswa Belum Bisa Calistung: Dilematis Guru dan Sekolah

Kompas.com - 18/08/2023, 13:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu lalu, dunia pendidikan dibuat garuk-garuk kepala dengan kasus siswa SMP belum lancar membaca. Kasus itu terjadi di salah satu SMP di Pangandaran, Jawa Barat. Sebanyak 29 siswa-siswi didapati belum lancar membaca.

Saya pribadi lebih melihat persoalan ini seperti borok yang akhirnya tercium juga sakitnya. Hal tersebut dapat diperhatikan bersama pada kolom komentar akun yang mengunggah pemberitaan itu, selalu saja ada yang mengeluhkan hal serupa.

Artinya, persoalan siswa SMP belum lancar membaca terindikasi juga terjadi di sekolah lain, hanya saja belum/tidak terekspos.

Perkara yang selalu ditempelkan pada kasus-kasus seperti ini secara umum adalah lewat pertanyaan, “Kok bisa naik dan lulus sampai SMP?”

Kalau kita pahami bersama, posisi guru dan sekolah sangatlah dilematis. Misalnya dalam pandangan psikologis, memutuskan peserta didik agar tinggal kelas merupakan langkah tidak efisien. Malah akan membuat peserta didik depresi dan tertekan (malu).

Dalam banyak kasus, hal tersebut lebih sering menurunkan motivasi belajar. Selain itu, mengulang pembelajaran dan materi yang sama pada tahun lanjutan, tidak menjamin anak jauh lebih mengerti.

Kemudian dari segi ekonomi, ada beban biaya sekolah. Orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan hanya untuk proses belajar materi yang sama secara berulang. Terlebih lagi bagi keluarga ekonomi rendah, tentunya berpotensi menambah pelik pengeluaran keluarga.

Kedua dasar pikiran tersebut juga didukung banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).

Dari sini nampak jelas, alasan dasar mengapa sekarang sekolah lebih memilih pengoptimalisasian belajar lewat cara alternatif, seperti pengedepanan diagnostik awal, asesmen formatif, pembelajaran diferensiasi, refleksi, hingga catatan akhir saat raportan pada guru jenjang berikutnya.

Cara alternatif tersebut secara konsep tidak bermasalah, hanya saja kurang tepat bila diadopsi pendidikan Indonesia.

Seperti pembelajaran diferensiasi, dengan jumlah siswa per kelas mencapai 30-40 siswa, tentu akan sangat merepotkan dan cenderung kurang efektif. Karena pada dasarnya ada ketentuan ideal dari konsep pembelajaran diferensiasi tersebut, yang menjadi ruh utama implementasinya.

Lalu diagnostik awal, cara ini juga rentan penuh akal-mengakali ilmu psikologi anak. Bagaimanapun, lulusan pendidikan dan keguruan Indonesia bekal ilmu psikologinya sangatlah terbatas.

Sekalipun terdapat mata kuliah psikologi pembelajaran, diagnostik awal merupakan konsep yang lain dan lebih intim.

Berkolaborasi dengan guru BK, misalnya, tetap saja akan kewalahan. Berapa ketersediaan guru BK pada tiap sekolah? Ditambah lagi, proses anak belajar sangatlah dinamis, yang setiap waktu mengalami perubahan.

Kemudian, catatan akhir pada guru berikutnya saat raportan. Solusi ini juga dinilai banyak pengamat pendidikan dan guru tidak efektif.

Bila pada tahap A siswa belum dapat dikatakan lulus, sedangkan dia diharuskan ke tahap berikutnya, bukankah itu hanya akan menambah beban guru di jenjang berikutnya?

Sekalipun diterapkan pembelajaran diferensiasi untuk kasus ini, tetap akan memunculkan ketimpangan di unit kelas. Bila diteruskan, bisa jadi nanti guru di SMA masih saja mengajarkan bagaimana calistung dasar dipahami.

Ketakutan itu sekarang terbukti dengan adanya kasus siswa SMP ternyata belum lancar membaca.

Mungkin dari beberapa solusi alternatif di atas, yang bisa dioptimalisasi pada pendidikan Indonesia adalah asesmen formatif dan sikap refleksi.

Bukan tanpa sebab, kalau kita perhatikan lebih dalam, basis sample dari alternatif tersebut adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi sekolah di luar negeri, di mana atribut pendukung pendidikannya sudah selesai.

Artinya, ada perbedaan objek dan ruang lingkup dalam kasus ini. Perlu ada pemilahan dan penyesuaian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com