Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Sekolah Bukan Tempat Laundry, Keluarga dan Masyarakat Perlu Terlibat

Kompas.com - 14/08/2023, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMUNIKASI keluarga dengan sekolah penting untuk lebih diintensifkan. Jangan sampai orangtua (keluarga) cuma dua kali dalam setahun mendapat laporan tumbuh kembang anaknya. Itupun melalui kegiatan terima rapor (semester ganjil/genap).

Kalaupun tidak karena alasan terima rapor, orangtua biasanya datang karena perkara kenakalan anaknya. Selain itu, tak jarang juga karena belum sanggup membayar uang sekolah sehingga perlu meminta keringanan.

Bila hal ini sering kita jumpai, artinya durasi keterlibatan orangtua dengan sekolah/guru dapat dikatakan sangatlah rendah.

Padahal, kalau kita mengacu pada Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus terelaborasikan melalui tiga ruang (keluarga, sekolah, dan masyarakat).

Minimnya keterlibatan keluarga dan masyarakat akan membuat beban sekolah berlipat dan menumpuk. Hal tersebut berpotensi pada tumpulnya proses belajar dan hasil pendidikan.

Persoalan peran tersebut lebih mudah diurai bila kita mendudukan dan membedakan antara fungsi pendidikan dan pengajaran.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, “pendidikan” (opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada “pengajaran” (onderweijs).

Pengajaran lebih terbatas pada pemberian materi yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Sementara pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Sedangkan pengertian dari Mohammad Hatta lebih sederhana, “pendidikan terletak di muka, pengajaran di belakang. Pendidikan membentuk karakter, pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh anak-anak yang mempunyai karakter” (Kutipan Hatta, ibid: 192).

Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan karakter, sedangkan pengajaran berkaitan erat dengan pengetahuan. Karakter pembelajar perlu ditumbuhkan terlebih dahulu sebelum bergeser pada peran fungsi pengajaran.

Pada peran fungsi pendidikan inilah sekolah tidak bisa mengambil beban itu sendirian. Keluarga dan masyarakat juga perlu terlibat dan dilibatkan secara aktif, berkelanjutan, dan saling mengisi.

Karakter bukanlah suatu hal instan atau dalam kurun waktu tertentu, apalagi dalam waktu semalam sekali bentuk. Karakter adalah proses panjang yang didampingi dan dikontrol melalui pembiasaaan.

Pembiasaan juga tidak boleh terlalu melebar pada doktrinasi dan pelanggengan otoritas. Pembiasaan wajib dikedepankan pada nilai-nilai egaliter dan humanis.

Sebaik-baiknya pembiasaan adalah kesadaran bahwa anak adalah subjek hidup yang mempunyai dunianya sendiri.

Keterlibatan keluarga dan masyarakat, terutama orangtua tertulis pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003; pasal 8 (delapan) yang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com