Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom UGM: Kebijakan Makro Harus Ketat Hadapi Ancaman Resesi 2023

Kompas.com - 14/12/2022, 17:26 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Eddy Junarsin mengatakan, kinerja dan prospek ekonomi global pada tahun 2023 diperkirakan akan memburuk dengan risiko resesi dan tingkat inflasi tinggi serta diikuti ketidakpastian ekonomi tinggi yang disebabkan oleh volatilitas keuangan global.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan ekonomi makro Indonesia lebih ketat untuk mengatasi dampak ancaman resesi 2023.

Baca juga: Kiat Erina Gudono Kuliah di Kampus Top Dunia: Belajar 30 Jam

"Harapannya resesi global tidak terjadi. Mudah-mudahan koordinasi global lebih baik sehingga pemulihan menjadi lebih cepat," ucap Eddy dalam keterangannya dikutip dari laman UGM, Rabu (14/12/2022).

Eddy menyebutkan, rata-rata inflasi negara global mencapai 9,2 persen dan diharapkan bisa melunak di bawah angka tersebut.

Saat ini, kata Eddy, tingkat inflasi negara eropa akibat dampak perang Rusia dan Ukraina mencapai 10 persen, sedangkan Amerika Serikat mencapai 7,1 persen.

"Negara maju seperti amerika tingkat inflasinya sampai 9 persen. Sekarang 7,1 persen. Turun 1 hingga 2,5 persen saja mereka sangat senang. Eropa sekarang (inflasi) 10 persen. Indonesia sekitar 5,42 inflasinya, lebih moderat daripada negara maju," sebut dia.

Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh di angka 5,3 persen rata-rata per tahun dalam enam kuartal terakhir, bilang dia, merupakan prestasi tersendiri.

Pasalnya Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam dua kuartal di masa awal pandemi lalu.

"Sempat mengalami pertumbuhan negatif, sekarang pertumbuhan menjadi positif. Tentu ini bukan cerminan hasil akhir, sebab berbagai faktor fundamental tidak selamanya kita kuat seperti yang kita bayangkan," ujarnya.

Meski pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat inflasi di angka 5 persen, pemerintah tidak boleh berpuas diri.

Sebaliknya, menurut dia, pemerintah tetap waspada terhadap ancaman resesi global.

"Dibandingkan negara maju, kita bisa optimis sekali, namun tetap hati hati. Saya kira pemerintah juga berhati hati terlihat dari pernyataan yang disampaikan berulang-ulang oleh Presiden dan menteri-menteri," tutur dia.

Baca juga: 5 Prospek Kerja Lulusan DKV, Gaji Tinggi dan Banyak Dicari

Soal resesi, Eddy menyampaikan, negara di dunia termasuk Indonesia sudah mengalaminya saat di awal pandemi. Di mana pertumbuhan hampir seluruh negara menjadi negatif.

Eddy menilai faktor pandemi juga menyebabkan krisis dan resesi yang terjadi pada tahun depan apabila terjadi.

Berbeda dengan krisis pada tahun 1998 yang melanda Indonesia yang disebabkan oleh sektor perbankan dan properti.

Lalu, krisis pada tahun 2008 disebabkan oleh perbankan di Amerika yang menjalar ke seluruh dunia sehingga yang menyebabkan ekonomi global menjadi lesu.

Meski setiap krisis disebabkan oleh berbagai macam faktor, tapi solusi yang dilakukan setiap negara dalam menanggulangi krisis hampir sama, yakni bank sentral membeli surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah.

Lalu, dana tersebut digunakan pemerintah untuk mendongkrak agar ekonomi bisa tumbuh kembali.

Baca juga: Pernah Kuliah di Singapura, Ini Jurusan yang Dipilih Kaesang Pangarep

"Bila krisis sudah lewat, selalu ada efek samping. Hampir sama seperti kita bila minum obat. Biasanya yang akan terjadi adalah peredaran uang yang lebih banyak, akan terjadi inflasi dan agak melonjak, seberapa lama kondisi ini terjadi, itu yang perlu diatur," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com