KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Dr. Ir. Ahmad Helman Hamdani, M.Si., menyatakan, Batu bara Indonesia masih potensial diandalkan sebagai penggerak ekonomi.
Meski demikian, pengolahan batu bara saat ini memerlukan inovasi dalam rangka mengurangi kadar emisi gas rumah kaca sesuai peraturan Paris Agreement.
Hal itu diungkapkan Prof. Helman saat membacakan orasi ilmiah berjudul "Memberi Nilai Batu Bara Sebagai Material Baterai Ion Litium" bersamaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar bidang Ilmu Geologi Batu Bara pada FTG Unpad, Kamis (31/3/2022).
Baca juga: Pakar Unpad: Edukasi Halal ke Masyarakat Lebih Penting
Ia mengatakan, sumber daya mineral batu bara di Indonesia masih melimpah. Data Kementerian ESDM per Juni 2021 menunjukkan bahwa sumber daya batu bara tercatat sebesar 149,7 miliar ton dengan cadangan mencapai 38,84 miliar ton.
Jika dengan rata-rata produksi sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batu bara di Indonesia masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Akan tetapi, kini pemerintah telah mendorong hilirisasi batu bara melalui gasifikasi, pembuatan kokas, underground coal gasification (UGC), pencairan, peningkatan mutu, pembuatan briket, hingga coal slurry/coal water mixture.
Hanya saja, perlu pula memikirkan kemungkinan pengembangan hilirisasi lainnya. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah pemanfaatan batu bara sebagai material anoda baterai Litium (LiB) atau Natrium (NiB) untuk produksi baterai dalam negeri.
Sebab, sekarang baterai litium populer digunakan sebagai sumber daya dari perangkat seluler, seperti ponsel, laptop, maupun perangkat lainnya.
Baca juga: Itera Inovasi Mobil Berbahan Bakar Minyak Sawit Murni
Baterai ini memiliki stabilitas penyimpanan energi yang sangat baik, mengandung energi densitas tinggi, hingga memiliki bobot relatif ringan dibandingkan dengan baterai jenis lain.
"Dengan berat yang sama energi yang dihasilkan baterai litium dua kali lipat dari baterai jenis lain," ujar Prof. Helman dikutip dari laman Unpad, Jumat (1/4/2022).
Adapun kandungan utama dari pembuatan baterai litium adalah logam litium. Ketersediaan logam litium di dunia sangat terbatas. Ini disebabkan, litium merupakan logam jarang (rare earth) dan tidak merata terdistribusi di alam.
Diperkirakan, ketersediaan yang terbatas tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan produksi baterai yang terus meningkat.
"Maka diperlukan material baru sebagai alternatif pengganti litium, yang secara ekonomi murah, terdapat banyak, dan bisa dikembangkan dengan mudah. Salah satunya adalah batu bara," terang Prof. Helman.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan, Prof. Helman dan tim mengembangkan batu bara bituminous dari berbagai cekungan di Indonesia.
Ini dilakukan melalui proses demineralisasi untuk menghilangkan pengotor di dalam batu bara serta proses karbonisasi, atau membakar sampai 1.200 derajat Celsius.
"Tujuannya adalah untuk mendapatkan struktur batu bara yang mendekati dengan struktur grafit (bahan alternatif pengganti logam litium)," kata Prof. Helman.
Baca juga: Mahasiswa UNY Inovasi Pupuk Alami untuk Tabulampot dari Limbah Ini
Dari hasil karbonisasi pada temperatur 800–900 derajat Celsius, ditemukan data bahwa batu bara bituminous hasil riset Prof. Herman memiliki potensi menjadi material anoda yang baik.
Prof. Helman berharap, hilirisasi batu bara ini akan memberikan nilai tambah besar serta dapat mengurangi proses pencemaran lingkungan akibat penambangan dan eksploitasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.