KOMPAS.com - Perusahaan farmasi AstraZeneca menjadi sorotan karena mengakui adanya efek samping langka berupa sindrom trombosis dengan trombositopenia atau TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19.
Pengakuan tercantum dalam dokumen pengadilan gugatan class action oleh warga Inggris.
Kendati demikian, vaksin Covid-19, termasuk yang diproduksi AstraZeneca, terbukti dapat menekan angka kasus penyakit akibat virus SARS-CoV-2.
Berikut fakta-fakta yang perlu diketahui seputar vaksin Covid-19 AstraZeneca.
AstraZeneca dan Universitas Oxford mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis mRNA.
Saat awal pengembangannya, AstraZeneca menyatakan, vaksin Covid-19 membantu mencegah keparahan penyakit dan menekan angka rawat inap.
Hasil uji klinis fase III di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan menunjukkan kemanjuran 76 persen untuk dosis pertama dan 82 persen untuk dosis kedua dengan jeda 12 minggu atau lebih.
Kemudian pada Februari 2021, vaksin Covid-19 AstraZeneca telah mendapatkan Daftar Penggunaan Darurat (EUL) oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
AstraZeneca mendapat otorisasi vaksin Covid-19, tetapi produksinya diserahkan kepada Serum Institute of India (SII).
AstraZeneca dan SII bekerja sama dengan Fasilitas COVAX untuk mulai memasok vaksin ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan keterangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), vaksin Covid-19 sudah tidak digunakan lagi untuk program vaksinasi atau imunisasi.
Vaksin tersebut juga sudah tidak beredar berdasarkan hasil pengawasan dan penelusuran BPOM.
Terkait kasus TTS di Inggris, BPOM telah mengawasinya melalui pemantauan Post Authorization Safety Study (PASS).
Industri farmasi pemegang izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) wajib melaksanakan PASS dan menyampaikan laporan kepada BPOM.
WHO menyatakan bahwa kejadian TTS berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang atau kurang dari 1 kasus dalam 10.000 kejadian.