KOMPAS.com - Serangan Umum 1 Maret 1949 menandai perebutan kembali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari pasukan Belanda.
Pada Desember 1948 terjadi Agresi Militer II, sehingga Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sebagai penengah, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat resolusi pembentukan pemerintahan sipil untuk mempermudah rencana pembentukan federasi.
Meski resolusi telah dikeluarkan PBB, situasi di Yogyakarta masih memanas.
Muncul gerakan gerilya dari masyarakat. Sementara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX terus menolak tawaran kerja sama dari Belanda.
Serangan Umum 1 Maret merupakan keberhasilan atas upaya menjaga kedaulatan Indonesia.
Menurut buku-buku sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru, Serangan Umum adalah ide Soeharto.
Narasi lain menyebutkan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat Menteri Negara, sebagai inisiator.
Lantas, mana yang benar?
Buku Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, Polemik tentang Pemrakarsa dan Pelaksana Serangan (2000) merangkum berbagai narasi yang dibangun semasa Orde Baru.
Klaim soal Serangan Umum 1 Maret ada dalam otobiografi berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988).
"Saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk melaksanakan serangan umum. Waktu saya tentukan pada tanggal 1 Maret, serangan pagi... Kita menyerang untuk tujuan politis, agar supaya dunia mengetahui bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan," kata Soeharto.
Narasi diperkuat melalui majalah Editor edisi 21 Maret 1992, ketika komandan sektor 041 Djatikusumo meragukan Hamengku Buwono IX menginisiasi serangan umum karena tidak punya latar belakang militer.
"Bagaimana mungkin Hamengku Buwono IX bisa merancang serangan itu. Dari mana dan kapan beliau belajar ilmu ketentaraan?" kata Djatikusumo.
Tak hanya buku dan majalah, film yang menjadi materi wajib pembelajaran sejarah pada masa Orde Baru berjudul Janur Kuning (1979) juga membuat narasi serupa.