Pada 18 Februari 1949 pukul 20.00 WIB, Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan instruksi rahasia kepada Soeharto.
Isi instruksinya yakni mengadakan serangan besar-besaran terhadap Ibu Kota Yogyakarta mulai 25 Februari sampai 1 Maret 1949 dengan bantuan dari pasukan Brigade IX.
Pada saat bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/Gubernur Militer II dengan fokus penyerangan terhadap Kota Solo.
Tujuannya, menahan tentara Belanda agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 WIB, bersamaan dengan dibunyikannya sirine akhir jam malam, tembakan dan gemuruh mencuat di Yogyakarta. Serangan dilakukan selama enam jam.
Dalam serangan ini, Soeharto menunjukkan kemampuannya sebagai pelaksana lapangan untuk melakukan manuver militer.
Serangan Umum 1 Maret merupakan peristiwa penting yang menandai berakhirnya upaya perebutan kekuasaan Belanda.
Setelah reformasi, upaya pelurusan sejarah mulai dilakukan untuk mengakhiri kontroversi.
Kepala Arsip Nasional RI, Mukhlis Paeni, mengadakan konferensi pers pada 10 Maret 2000 yang menyatakan bahwa Hamengku Buwono IX merupakan penggagas Serangan Umum.
"Yang pasti, penggagas Serangan Umum itu adalah mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bukan Pak Harto seperti yang selama ini diyakini pemerintah Orde Baru," kata Mukhlis.
Kontroversi berakhir dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Keppres menyebutkan, Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Hamengku Buwono IX.
Ide serangan umum didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman, kemudian disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.