"Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor tak perlu kepintaran, yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu."
Bivitri Susanti - Dirty Vote (2024)
KOMPAS.com - Dugaan akan adanya kecurangan sistematis dan pelanggaran konstitusi diungkap dalam dokumenter Dirty Vote yang tayang pada Minggu (11/2/2024), beberapa hari menjelang pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Film tersebut disutradarai Dandhy Dwi Laksono, penggarap dokumenter Sexy Killers (2019) yang mengungkap jejaring oligarki tambang batu bara di balik kontestan Pemilu 2019.
Dandhy mengatakan, pembuatan dan peluncuran Dirty Vote diharapkan dapat menjadi bahan edukasi bagi masyarakat menjelang pemungutan suara pada Rabu (14/2/2024).
Ia juga berharap semua elemen masyarakat dapat sejenak mengesampingkan dukungan politik kepada para calon presiden-calon wakil presiden, dan menyimak isi dokumenter itu secara terbuka.
"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," kata Dandhy, seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (11/2/2024).
Dirty Vote menghadirkan tiga ahli hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, dan Feri Amsari selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.
Tiga orang yang merupakan pakar hukum tata negara itu juga berbicara sesuai kompetensinya, dan sorotan dilakukan masih dalam koridor ketatanegaraan selama pemilu berlangsung.
Mereka mengungkap berbagai kejanggalan pelaksanaan tata negara, praktik penyalahgunaan wewenang, dan dugaan kecurangan yang terjadi di balik layar Pemilu 2024.
Berbagai hal yang diungkap dalam film seperti upaya memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran, dugaan pelanggaran kampanye oleh pejabat negara, dan tuduhan politisasi bantuan sosial.
Dokumenter tersebut mengungkap dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Presiden Joko Widodo melalui penunjukan penjabat gubernur di 20 provinsi, serta campur tangan dalam penunjukan penjabat bupati dan wali kota.
Tindakan itu diduga terkait upaya memenangkan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam satu putaran.
Sebagaimana diketahui, Gibran merupakan putra sulung Jokowi yang saat ini masih menjabat Wali Kota Surakarta.
Untuk dapat menang dalam satu putaran, paslon harus meraih lebih dari 50 persen suara serta memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (saat ini ada 38 provinsi).