KOMPAS.com - Pada masa pandemi di Indonesia, sejumlah informasi keliru dan hoaks seputar vaksin Covid-19 banyak beredar di media sosial.
Narasi yang muncul pun beragam, meskipun pola yang ada hampir sama. Misalnya, narasi mengenai bahaya vaksin dan teori konspirasi bahwa program vaksin dibuat untuk membenamkan cip yang dapat mengontrol aktivitas manusia.
Akan tetapi, hoaks mengenai vaksin masih beredar meskipun pandemi Covid-19 sudah berangsur pulih. Kali ini, narasinya mengenai demam berdarah dengue (DBD). '
Di media sosial beredar unggahan yang menyatakan bahwa vaksin DBD berbahaya.
Sebab, menurut unggahan itu, vaksin DBD menimbulkan antibody-dependant enhancement (ADE) setelah dua tahun setelah vaksinasi. Unggahan itu menyertakan artikel dari Reuters.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, unggahan itu dipastikan keliru.
Artikel Reuters yang digunakan pun membahas penghentian sementara vaksin dengue di Filipina karena adanya peningkatan risiko rawat inap dan dengue berat pada individu dengan serotesting negatif atau belum pernah terinfeksi DBD sebelumnya.
Adapun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan bahwa vaksin Dengvaxia tetap dapat digunakan untuk mengurangi risiko kejadian dan keparahan DPD pada anak usia 9-16 tahun yang sebelumnya telah terinfeksi.
Selain itu, BPOM belum menemukan laporan efek samping Dengvaxia yang telah digunakan.
Simak penjelasannya dalam video berikut ini:
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.