KOMPAS.com- Disinformasi berupa gambar yang direkayasa menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) bermunculan di media sosial belakangan ini.
Contohnya, gambar palsu mantan Presiden Amerika Donald Trump yang ditangkap aparat hukum hingga Paus Fransiskus yang mengenakan jaket puffer mewah Balenciaga.
Gambar palsu yang dihasilkan itu pun banyak mengecoh orang, tidak sedikit yang mempercayainya sebagai gambar asli. Kecanggihan teknologi AI telah membuat gambar yang direkayasa terlihat nyata.
Rekayasa gambar AI yang menimbulkan disinformasi pun menjadi tantangan baru para fact checker atau pemeriksa fakta.
Baca juga: Mewahnya Paus Fransiskus dalam Balutan Puffer Balenciaga, Potensi AI Memanipulasi Publik
Bart Libaut, open source investigator asal Belgia mengatakan bahwa disinformasi yang dihasilkan teknologi AI membuat para pemeriksa fakta dituntut bekerja secara ekstra.
"Deepfake menjadi hal baru yang mulai masuk ke dalam ranah fact checking dan membuat pekerjaan pemeriksa fakta lebih menarik, juga menantang. Sebab kita harus berpikir lebih keras tentang bagaimana menghadapi hal ini," ujar Bart dalam sebuah diskusi daring, Jumat (31/3/2023).
Menurut dia, para pemeriksa fakta perlu untuk mengenal dan menggunakan tool yang dapat membantu mengidentifikasi gambar palsu yang dihasil oleh teknologi AI.
Ada beberapa tool berbayar yang bisa digunakan, salah satunya adalah Sensity.
“Ada beberapa layanan yang berbayar, namun ini masih dikembangkan. Tetapi ada satu tool yang bisa digunakan gratis dengan trail selama dua minggu yakni Sensity," kata Bart.
"Saya tidak dibayar atau di-endorse oleh mereka, mereka baru mulai sekitar tahun 2021," ujarnya.
Kendati begitu, Bart menjelaskan bahwa jika dilihat secara detail biasanya gambar yang dihasilkan oleh AI tidak sempurna.
Baca juga: Kolaborasi Pemeriksa Fakta dan Kecerdasan Buatan Perangi Misinformasi