KOMPAS.com - Gas air mata telah banyak digunakan oleh kepolisian berbagai negara untuk mengendalikan massa dalam aksi protes atau kerumunan lain yang dianggap berisiko.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (AS) mengategorikan gas air mata atau pengendali kerusuhan sebagai senyawa kimia yang dapat menimbulkan dampak sementara terhadap seseorang, seperti iritasi pada mata, mulut, tenggorokan, paru-paru, dan kulit.
Penggunaan gas air mata bisa menyebabkan keracunan dengan berbagai tingkatan, berdasarkan jumlah, tempat, cara paparan, hingga lama waktu paparan.
Bila jumlahnya tidak terlalu banyak, secara umum efek paparannya akan berlangsung selama 15 sampai 30 menit setelah seseoran dievakuasi dan dibersihkan dari paparan.
Baca juga: Buntut Tragedi Kanjuruhan, Muncul Petisi Berhenti Gunakan Gas Air Mata
Awalnya, beberapa negara menggunakan gas beracun dalam masa perang, kemudian berkembang menjadi gas air mata sebagai alat pengendali massa.
Dilansir dari History.com, saat Perang Dunia I (1914-1918), Jerman mulai mengembangkan senjata kimia dengan menempatkan tabung gas air mata berukuran kecil pada peluru senjata api.
Tahun 1915 mereka mengembangkannya lagi menggunakan bahan xylyl bromide yang lebih mematikan, dan menggunakannya untuk menyerang pasukan Rusia di Front Timur.
Rusia cukup terbantu dengan kondisi musim dingin saat itu karena sebagian gas beracun membeku. Namun korban jiwa dari peperangan di awal tahun itu mencapai ribuan orang.
Jerman menggunakan gas beracun di kesempatan berikutnya pada masa Perang Dunia I, namun tidak berhasil memanfaatkannya secara efektif hingga akhirnya kalah.
Pada tanggal 22 April 1915, Jerman menggunakan gas beracun di Perang Ypres dan berhasil menghancurkan dua divisi dari Perancis dan Aljazair.
Jerman dan musuhnya sama-sama terkejut bagaimana senjata kimia dengan mudah bisa menghancurkan sebuah pasukan.
Setelah Pertempuran Ypres, Perancis dan Inggris mengembangkan senjata kimia mereka sendiri serta masker pelindung dari gas.
Jerman kembali lebih maju ke depan, yakni menggunakan gas mustard yang bisa melepuhkan kulit, berdampak buruk pada mata, kulit, paru-paru, dan pembuluh darah.
Baca juga: Hujan Gas Air Mata di Stadion Kanjuruhan, 8 Ditembakkan ke Tribune, 3 ke Lapangan
Ahli strategi militer mendukung penggunaan gas beracun sebagai pilihan serangan dalam berperang, karena menghambat respons musuh dan meminimalisasi korban jiwa.
Ternyata masker gas dan pakaian pelindung diri bisa mengurangi efektivitas jenis senjata itu. Senjata kimia tidak efektif digunakan terhadap musuh yang juga memilikinya.