Inggris, Perancis, dan Spanyol kemudian menggunakannya untuk kolonialisasi, di mana mereka menghadapi musuh yang belum memiliki senjata kimia.
Gas beracun tidak lagi dianggap ampuh dalam memenangkan perang karena sudah banyak negara yang memiliki jenis senjata itu dan membuat masker pelindung.
Banyak negara telah mengembangkan pakaian pelindung dan detektor untuk memperingati bila senjata kimia sedang digunakan musuh.
Pada Perang Dunia II (1939-1945), tidak ada penggunaan senjata kimia karena dianggap memperlambat jalannya perang. Apabila terdeteksi ada penggunaan senjata kimia, mereka akan saling menunggu sampai area perang bersih.
Baca juga: INFOGRAFIK: Larangan Gas Air Mata Digunakan untuk Perang
Justru strategi yang banyak digunakan saat itu mengandalkan kecepatan, sehingga senjata kimia dinilai tidak cocok. Ketika itu, hanya Jerman yang menggunakan gas beracun untuk melakukan pembunuhan massal atau genosida di kamp penahanan orang sipil.
Pasca-Perang Dunia II sejata kimia masih digunakan dalam konflik di Yaman (1966-1967) dan Perang Irak (1980-1988) karena dinilai efektif terhadap musuh yang tidak memiliki jenis senjata yang sama.
Sementara, Protokol Jenewa 1925 telah melarang penggunaan senjata kimia, namun tidak mengatur soal pembuatan dan penyimpanannya.
Kemudian pada masa Perang Dingin, tepatnya tahun 1990, Amerika dan Uni Soviet setuju untuk mengurangi 80 persen senjata kimia di gudang mereka.
Perjanjian yang melarang produksi senjata kimia ditandatangani tahun 1993, yang efektif tahun 1997, dan melarang penimbunan senjata kimia tahun 2007.
Dikutip dari sciencehistory.org, ilmuwan Jerman menciptakan bahan kimia chloroacetophenone pada akhir abad 19. Meski disebut gas air mata, namun senjata kimia itu bukan berupa gas, melainkan bubuk berukuran mikro. Ketika tersebar di udara, bubuk tersebut dapat menyebabkan keluarnya air mata, pernapasan terganggu, dan rasa sakit.
Pada awal abad 20, Polisi Perancis bereksperimen dengan gas air mata untuk menangkap kriminal. Namun, saat itu gas air mata tidak banyak digunakan, kecuali dalam Perang Dunia I.
Tentara sekutu maupun Jerman menggunakan gas air mata, sebelum beralih ke gas klorin dan mustard yang lebih mematikan pada 1915. Amerika Serikat juga menggunakan gas air mata dan senjata kimia saat terlibat perang pada 1917.
Setelah perang berakhir, ribuan tentara dinonaktifkan dan kembali rumah. Dalam masa damai, mereka sulit mencari pekerjaan karena lapangan kerja tidak banyak tersedia.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Anggota Polisi yang Perintahkan Tembak Gas Air Mata
Akibatnya, kerap terjadi kerusuhan dan meningkatnya sentimen rasialisme terhadap warga Afrika-Amerika. Periode 1919 hingga 1921, setidaknya ada 29 pemogokan, kekerasan dan kerusuhan berbasis ras di Amerika Serikat.
Pemerintah pun memerlukan intervensi militer untuk memulihkan ketertiban sipil. Penegakan hukum memerlukan alat pengendalian massa yang tidak melibatkan senjata api.