KOMPAS.com - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membahas mengenai strategi komunikasi untuk menjaga perdamaian di Afrika, Timur Tengah, Asia, hingga Eropa.
Pada pertemuan yang diselenggarakan di Brasil, Selasa (12/7/2022) lalu, Dewan Keamanan PBB menyadari, banyak yang perlu dilakukan untuk melawan misinformasi dan disinformasi di tengah 12 operasi penjaga perdamaian PBB.
Pertemuan itu membahas mengenai pentingnya komunikasi strategis untuk menyukseskan operasi penjaga perdamaian.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengungkapkan, survei terbaru menemukan bahwa hampir setengah dari semua penjaga perdamaian PBB merasa misinformasi dan disinformasi sangat mempengaruhi pekerjaan, mengancam keselamatan dan keamanan mereka.
“Senjata yang mereka gunakan bukan hanya senjata api dan bahan peledak. Misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian semakin sering digunakan sebagai senjata perang,” ujar Guterres, dikutip dari laman PBB, Selasa (12/7/2022).
Guterres memberikan contoh tentang sebaran surat palsu yang menuding bahwa penjaga perdamaian PBB di Mali bekerja sama dengan kelompok-kelompok bersenjata.
Tudingan itu viral di media sosial, terutama Facebook itu bahkan dikutip oleh media nasional.
"Ini menimbulkan permusuhan dan kebencian terhadap pasukan penjaga perdamaian dan membuat upaya mereka untuk melindungi warga sipil menjadi lebih sulit," kata Guterres.
Guterres berpendapat, PBB perlu bergerak untuk meningkatkan komunikasi dalam operasi perdamaian.
Komunikasi yang strategis ini, menurutnya, penting bagi seluruh penjaga perdamaian PBB untuk mencapai misi utamanya dalam melindungi warga sipil dan mencegah kekerasan, mengamankan gencatan senjata, menjaga penyelesaian politik, menyelidiki dan melaporkan pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.
Misinformasi dan disinformasi dapat menjadi penghalang besar dari misi perdamaian tersebut.
"Disinformasi tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya dan berpotensi mematikan," imbuh Guterres.
Contoh kerugian yang ditimbulkan akibat misinformasi dan disinformasi, disampaikan oleh Letnan Jenderal Marcos Da Costa, komandan pasukan penjaga perdamaian di Kongo.
Dilansir dari AP News, Rabu (13/7/2022), Da Costa mengatakan kepada dewan bahwa mereka beroperasi di negara di mana muncul persepsi buruk di antara penduduk terhadap para penjaga perdamaian.
“Sentimen anti-misi berlaku di beberapa bagian negara yang bahkan mencegah beberapa pengerahan kami,” katanya.