KOMPAS.com - Hari ini 56 tahun lalu, tepatnya pada 11 Maret 1966, Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal juga sebagai Supersemar ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Surat ini memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dan digunakan sebagai legitimasi suksesi kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno ke Mayor Jenderal Soeharto.
Akan tetapi, latar belakang dan dampak kelahiran Supersemar masih menjadi polemik hingga saat ini.
Supersemar dituding sebagai "alat kudeta" yang digunakan Soeharto untuk melengserkan kekuasaan Presiden Soekarno.
Baca juga: Supersemar, Surat Kuasa atau Alat Kudeta?
Dilansir dari Kompaspedia, proses kelahiran Supersemar tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira serta isu kudeta Presiden Soekarno menjadi awal dari perubahan politik Indonesia.
Hal ini kemudian membuat Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Soeharto menjadi Menpangad pada 14 Oktober 1965 untuk mengamankan jalannya pemerintahan.
Namun, situasi politik Indonesia terus memburuk pasca-G30S.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalang di balik peristiwa G30S.
Akan tetapi, Presiden Soekarno tidak percaya hal itu, dan justru mengeluarkan kebijakan menaikkan harga-harga dengan harapan mengalihkan rakyat dari masalah politik yang terjadi.
Pada 15 Januari 1966 terjadi aksi demonstrasi mahasiswa yang melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura):
Tiga hal itu: peristiwa G30S, pilihan Presiden Soekarno untuk tidak membubarkan PKI, dan Tritura menjadi latar belakang di balik lahirnya Supersemar pada 11 Maret 1966.
Baca juga: 50 Tahun Supersemar, Kontroversi Sejarah nan Tak Kunjung Usai...
Dilansir dari Kompas.com, sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan.
Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno.