Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Peringkat Pertama Penyiksa Hewan di Dunia

Kompas.com - 03/10/2021, 19:15 WIB
Artika Rachmi Farmita

Penulis

KOMPAS.com - Setelah menduduki peringkat atas sebagai netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara menurut laporan 2020 Digital Civility Index (DCI) Microsoft, Indonesia juga menduduki peringkat pertama sebagai penyiksa hewan.

Anda tentu masih ingat kasus penjagalan kucing ras bernama Tayo di Medan pada Januari 2021 yang lalu. Kasus ini bermula saat Tayo hilang 25 Januari 2021 silam.

Lantas Sonia mendapat informasi dari warga sekitar bahwa ada seseorang yang ditengarai menjadi aktor di balik menghilangnya Tayo.

Warga menyebut Rafeles Simanjuntak alias Neno Simanjuntak ini, sudah 11 tahun menjadi penjagal kucing dan anjing. Setiap hari, Neno disebut bisa menjual sekitar 2 kilogram daging kucing dari sekitar enam ekor kucing yang dipotong.

Karena rumahnya tak jauh dari rumah Sonia, ia mendatangi langsung si pelaku. Sempat terlihat adu mulut, matanya menangkap sebuah karung dengan bercak darah. Di sanalah ia mendapati Tayo telah menjadi bangkai.

Peristiwa ini sempat viral di media sosial karena sang pemilik, Sonia Rizkika, mengunggah penemuannya itu. Ia lalu melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat. Kasus ini berujung vonis 2,5 tahun penjara pada pelakunya.

Baca juga: Ungkap Kasus Jagal Kucing, Pemilik Kucing Tayo Malah Diteror, Polisi Periksa 5 Saksi

Negara nomor satu paling banyak unggah konten penyiksaan hewan

Dikutip dari BBC, Asia For Animals Coalition merilis riset yang menunjukkan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia yang paling banyak mengunggah konten hewan di media sosial. Bukan konten lucu atau unik, namun kekejaman.

Riset itu menyebutkan, dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia.

Grafik negara berdasarkan konten penyiksaan hewan. Indonesia tertinggi di dunia.BBC INDONESIA Grafik negara berdasarkan konten penyiksaan hewan. Indonesia tertinggi di dunia.

 

Data ini dikumpulkan sejak Juli 2020-Agustus 2021 dari YouTube, Facebook dan TikTok. Namun, masih terdapat ribuan konten yang lokasinya tidak diketahui.

Dari data-data tersebut, Asia For Animals Coalition menegaskan bahwa konten kekejaman terhadap hewan di dunia maya adalah masalah global.

"Mungkin fakta paling mengejutkan bahwa secara kolektif, 5.840 masing-masing video, yang kami dokumentasikan telah ditonton sebanyak 5.347.809.262 kali saat penelitian ini ditulis," tulis laporan Asia For Animals Coalition.

Koalisi organisasi pemerhati hewan seluruh dunia itu juga menulis bahwa banyak kerugian diderita oleh hewan. Tapi sebaliknya, platform media sosial dan si pengunggah malah meraup keuntungan.

Menurut catatan Animal Defender Indonesia, maraknya video penyiksaan hewan yang diunggah dari Indonesia merupakan dampak dari "ketidakpastian hukum".

"Ini tekanan baik bagi legislator di Indonesia, bahwa ayo kita perbaiki undang-undangnya," kata Doni.

Selain itu, dari kajian Animal Defender Indonesia, kebanyakan pengunggah kasus kekerasan terhadap hewan di media sosial adalah anak-anak remaja. Mereka dikatakan mengalami sindrom "look at me generation".

"Umumnya, kasus putar-putar kucing ini (diunggah) anak-anak tanggung. Itu kucingnya sempoyongan, ada yang jatuh ke comberan dan lain-lain," ujar Doni.

Maka dari itu, pihaknya berupaya untuk menjelaskan kepada mereka bahwa mencari bahan tertawaan itu tidak harus dengan menyiksa hewan.

Menurut saya, ini masalah edukasi, sama juga pemerintah tidak cukup tegas karena mereka melihat ini bukan concern (perhatian)," kata Karin.

Baca juga: Pelaku Penyiksaan Hewan Apakah Bisa Dihukum? Simak Aturannya

Penyiksa hewan berpotensi jadi kriminal sadis

Mengapa banyaknya konten penyiksaan hewan tidak boleh dibiarkan?

Meski kesannya sepele dan menghibur, sejumlah penelitian menunjukkan penyiksaan hewan sangat kuat berhubungan dengan kriminalitas. Bahkan termasuk kekerasan terhadap manusia.

Organisasi nirlaba Humane Society yang berbasis di Amerika Serikat menyebut 88 persen kasus penyiksaan hewan terjadi di dalam rumah tangga yang memiliki riwayat kekerasan terhadap anak.

Sebanyak 71 persen korban kekerasan dalam rumah tangga juga menyebutkan pelaku kekerasan di rumah melakukan hal yang sama terhadap hewan.

Sejumlah pelaku pembunuhan berantai dan brutal juga memiliki riwayat penyiksa hewan.

Seperti kasus Gary Leon Ridgway yang dikenal sebagai Green River Killer.

Saat masih kecil, ia memiliki pengalaman pernah mencekik kucing. Di pengadilan, Gary disebut telah membunuh 49 orang di AS.

Lalu, kasus Eric Harris dan Dylan Klebold, dua remaja yang bertanggung jawab atas penembakan di SMA Columbine, dan menewaskan 13 orang.

Keduanya kerap membanggakan cerita tentang memutilasi hewan kepada teman-temannya.

Biro Penyelidikan Federal AS (FBI) tahun-tahun belakangan ini bahkan menjadikan kasus-kasus penyiksaan hewan untuk memprediksi kasus-kasus pembunuhan.

Di Indonesia, pelaku pembunuhan balita yang mayatnya disimpan dalam lemari 2020 lalu, juga memiliki riwayat sebagai penyiksa hewan di samping menjadi korban kekerasan seksual.

Remaja berinsial NS pernah melempar kucing dari lantai dua, membakar kodok, dan kepala cicak.

Baca juga: Konten Penyiksaan Hewan di Indonesia Terbanyak Sedunia, Bisakah Kasus Kucing Tayo Mengakhirinya?

"Bahwa para penyiksa hewan itu umumnya mengalami gangguan jiwa yang nanti targetnya akan dia tingkatkan. Dari hewan saja sampai ke orang atau manusia yang sekiranya tidak melawan. Balita, manula, itu akan jadi sasaran mereka," kata Doni.

Sementara itu, menurut pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Karin Franken, pembiaran atas penyiksaan terhadap hewan sejak kecil bisa menjadi cikal bakal tindakan sadistis di kemudian hari.

"Anak kecil lempar batu (ke hewan), tak bisa di-judge anak itu jahat, bukan. Anak sadistis, bukan. Tapi kalau dibiarkan lama-lama akan menuju ke situ," kata Karin.

Ia mengatakan perlunya pembelajaran empati dimulai sejak dini melalui perilaku terhadap hewan sekitar.

Sebab ketika perilaku kejam terhadap hewan dibiarkan, maka empati itu terkikis. "Itu memang proses," pungkasnya.

Sumber: BBC Indonesia, Kompas.com (Penulis: Aditya Jaya Iswara)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com