Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Baim Wong dan Kakek Suhud, Pakar: Permainan Dramaturgi Sosial

Sebelumnya, perilaku Baim Wong itu turut memancing reaksi Nikita Mirzani. Ia membuat postingan di Instagram menyindir seseorang yang munafik dan membuat konten palsu dengan membagi-bagikan uang. 

Bahkan, meski Baim Wong telah meminta maaf kepada Kakek Suhud, berbagai tanggapan netizen terus bermunculan di media sosial.

Dalam kacamata sosiologi, fenomena ini sebetulnya adalah peristiwa yang wajar.

Hanya saja, menjadi menarik karena berada di ranah media sosial.

Komodifikasi kemiskinan Baim Wong

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta, menyebutnya sebagai permainan komodifikasi yang dilakoni oleh para selebriti ini.

Kegaduhan Baim Wong vs Nikita Mirzani dan hujatan atas sikap Baim terhadap Kakek Suhud ini tak terlepas dari bagaimana selama ini Baim mencitrakan dirinya di media sosial.

"Saya memandang kasus ini sebagai teori dramaturgi sosial. Maksudnya, teori ini mengacu antara latar depan atau front stage dan latar belakang yakni back stage," kata Widyanta saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/10/2021).

Persoalan ini adalah soal interaksionisme simbolik, yakni interaksi yang dalam perjumpaan langsung.

Lalu secara simbolik membaca seluruh konteks yang dihadapi di depannya, yang kemudian menyebabkan interaksi timbal balik antar keduanya.

Seperti diketahui, berbagai konten yang dibuat Baim Wong dalam channel YouTube miliknya selalu menampilkan bagaimana ayah Kiano Tiger Wong itu memberikan uang dan membantu orang tidak mampu. Ini merupakan level front stage dari Baim Wong.

Namun, ketika Baim Wong menegur Kakek Suhud dalam video yang ditampilkan, ia sedang dalam kehidupan kesehariannya atau sedang berada pada level back stage atau latar belakang.

"Dia sedang tidak berada di dunia media sosial untuk memanggungkan dirinya", kata Widyanta.

"Tetapi di sisi lain, karena Baim Wong juga tampil sebagai front stage dengan media sosialnya, yang terbiasa menjadikan orang-orang miskin untuk diberi (uang) secara terus menerus, ia telah memposisikan dirinya sebagai dermawan. Itu panggung depannya," jelas Widyanta.

Dalam aspek sosiologis, apa yang dilakukan Baim Wong adalah bentuk komodifikasi kemiskinan.

Hal itu tercermin dalam konten-konten video produksi Baim yang selalu menunjukkan sikap suka memberi, sebagai orang yang dermawan.

"Front stage dia (Baim Wong) menjadi Sinterklaus, malaikat, yang selalu memberi di saat ada orang mengalami kesusahan," ungkap Widyanta.

Secara tidak sadar, kata Widyanta, yang dilakukan Baim Wong adalah bentuk komodifikasi kemiskinan. Komodifikasi kemiskinan adalah proses menjadikan kemiskinan sebagai komoditas untuk rating kepopuleran selebriti.

Citra atau imej yang ditampilkan Baim Wong inilah, yang kemudian mendorong sikap yang dilakukan Kakek Suhud karena Kakek Suhud memiliki pencitraan tentang Baim sebagai dermawan.

"Akhirnya, dia (Kakek Suhud) mengejar Baim. Keduanya ini pun sudah masuk dalam permainan simbolik, satu termakan oleh kemiskinan sebagai komoditas, lalu ditangkap Kakek Suhud yang mencitrakan Baim sebagai sosok dermawan," papar Widyanta.

Di tengah kegaduhan netizen memperdebatkan sikap Baim Wong terhadap Kakek Suhud, Nikita Mirzani masuk ke dalam konflik ini yang membuatnya disebut oleh netizen sedang mencari panggung atas situasi tersebut.

Widyanta juga sependapat dengan netizen dan menyebut Nikita Mirzani sedang memainkan perannya yakni memanfaatkan komodifikasi sosial.

"Tujuannya untuk rekognisi, yakni pengakuan, agar Nikita Mirzani juga punya popularitas yang lebih tinggi dari Baim Wong. Ini soal kontestasi di dalam dunia simbolik," kata Widyanta.

Menurut Dosen Departemen Sosiologi FISIP UGM ini, peristiwa yang terjadi di antara Baim Wong dan Nikita Mirzani adalah fenomena biasa.

Namun, hal ini menjadi menarik karena peran media sosial yang berperan hanya untuk tujuan rekognisi atau pengakuan, baik oleh Baim Wong maupun oleh Nikita Mirzani.

Widyanta berkata bahwa dalam dunia virtual media sosial hari ini, banyak orang saling terkoneksi. Bahkan, orang semakin bebas berkomentar tanpa perlu mengetahui konteks dan duduk perkara dari suatu masalah atau isu.

"Semua bisa saling silang pendapat dengan bebas," kata Widyanta.

Komodifikasi oleh selebriti lain dilakukan untuk mendapatkan rekognisi atau pengakuan.

Dalam hal ini, komodifikasi kemiskinan yang dimainkan oleh Baim Wong dan komodifikasi sosial yang dilakoni Nikita Mirzani.

Artinya, kata Widyanta menyimpulkan, ini kompetisi untuk mendapatkan popularitas lebih dari perkara tersebut, yakni masalah Baim Wong menegur Kakek Suhud.

Belajar dari kasus Baim Wong, Nikita Mirzani, dan Kakek Suhud

Widyanta berkata bahwa belajar dari kasus Baim Wong, Nikita Mirzani dan Kakek Suhud; ada refleksi yang perlu direnungi bersama.

"Bahwa dalam media sosial hari ini, kita yang terhubung dengan orang lain yang saling berinteraksi itu, sesungguhnya punya banyak hasrat tersembunyi, yakni soal bagaimana kita sesungguhnya membutuhkan pengakuan," ungkap Widyanta.

Kita yang memiliki media sosial, kata Widyanta, akan selalu menampilkan hal-hal terbaik dalam diri kita.

Fenomena yang terjadi dari kasus Baim Wong dan Kakek Suhud, sesungguhnya berkaitan dengan cara orang untuk berjuang mendapatkan pengakuan melalui media sosial.

"Lalu, apa kita akan mendapat sesuatu sesuai harapan kita? Belum tentu. Sebab, orang lain juga bisa menafsirkannya berbeda, bahkan menafsirkannya secara liar," jelas dia.

Masyarakat sekarang, kata Widyanta, tengah dihadapkan pada pencitraan soal kesejatian orang. Namun, sejatinya semua orang dalam media sosial hari ini merupakan pemain.

https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/16/084100981/kasus-baim-wong-dan-kakek-suhud-pakar--permainan-dramaturgi-sosial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke