Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai Tagar #PercumaLaporPolisi, Kemana Sebaiknya Korban Pemerkosaan Mengadu?

Kasus pemerkosaan oleh ayah kandung ini mengemuka ke publik setelah diberitakan oleh Project Multatuli dan dipublikasikan ulang oleh Kompas.com, Jumat (8/10/2021).

Kejadian pemerkosaan itu dialami pada tahun 2019. Meminta keadilan, sang ibu lalu mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Luwu Timur, dan Polres Luwu Timur karena berharap mendapat perlindungan.

Bukannya mendapat keadilan, kepolisian kepolisian di Luwu Timur malah menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Penghentian itu bahkan dilakukan hanya dua bulan sejak ibu tersebut membuat pengaduan.

Belajar dari kasus tersebut, ada beberapa hal yang sebaiknya dipersiapkan sebelum mengambil langkah hukum atau mengadu ke polisi.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, Salawati Taher, membagikan saran apa saja yang perlu dipersiapkan korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, sebelum melapor ke polisi.

1. Kumpulkan bukti-bukti

Salawati Taher mengatakan, pada dasarnya dibutuhkan minimum 2 alat bukti permulaan untuk satu perkara pidana. Ini diperlukan agar kasus bisa dilanjutkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan.

Sebelum menjalani visum, korban kekerasan seksual diimbau mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumentasi seperti foto dan video. "Bikin dokumentasi berupa foto atau rekaman video dengan jelas menyebutkan tanggal atau arahkan kamera ke kalender," ujar Salawati kepada Kompas.com, Jumat malam (8/10/2021).

Dokumentasi ini amat penting, apalagi jika kasusnya berhadapan dengan orang yang memiliki kuasa seperti pejabat. "Tujuannya agar ada alternatif untuk tambahan alat bukti apabila ada indikasi manipulasi saat visum," tutur dia.

Selain itu, agar bukti permulaan semakin kuat, saksi harus lebih dari satu orang. 

Berkaca dari kasus pemerkosaan di Luwu Timur, sedikitnya sudah ada satu orang ibu beserta 3 korban anak sebagai saksi. "Kalau bicara saksi ya seharusnya syarat saksi sudah terpenuhi," ucapnya.

2. Minta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum

Setelah mengumpulkan bukti-bukti, korban pemerkosaan atau kekerasan seksual juga diimbau agar meminta pendampingan hukum. Terutama dari lembaga bantuan hukum yang berpihak pada isu-isu perempuan, misalnya LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).

Alasannya, tak semua orang awam dengan bahasa hukum. Istilah-istilah hukum bisa membingungkan korban yang sudah membawa beban mental akibat kasus yang dialaminya.

"Sudah pusing dengan kasusnya, malah lebih pusing karena istilah-istilah hukum tidak biasa bagi masyarakat awam," kata Salawati.

Di samping itu, bagi korban, berhadapan langsung dengan polisi tanpa pendamping akan berat secara psikologis. 

"Setelah ada tim pendamping, baru lapor polisi," tegasnya.

3. Hubungi lembaga pro perempuan dan anak

Sebagaimana mandat dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, seharusnya korban anak-anak didampingi oleh orang tua serta pendamping hukum, pekerja sosial atau pendamping lain.

Salawati menjelaskan, pendampingan juga bisa diperoleh dari lembaga-lembaga yang pro perempuan dan anak yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Misalnya Komnas Perempuan maupun Komisi Perlindungan Anak jika korbannya ialah anak-anak.

Menurutnya, hal ini perlu dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual berbeda dengan kekerasan biasa.

"Kasus kekerasan seksual tidak bisa disamakan dengan kasus kekerasan biasa, terlebih lagi jika pelakunya masih berasal dari kalangan keluarga sendiri," ujarnya.

4. Kontak Dinas Sosial setempat

Jika korban pemerkosaan masih kesulitan meminta pendampingan hukum dan lembaga perempuan, Dinas Sosial kota setempat bisa menjadi alternatif pendukung.

Dinsos, kata Salawati, biasanya punya tim untuk perlindungan perempuan dan anak.

Apabila korban mengalami trauma, Dinsos juga dapat memberikan perlindungan di rumah aman alias safe house. “Kalau trauma mereka harus diamankan di safe house dan diberikan konseling.”

Salawati menambahkan, korban juga bisa meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika diperlukan.

5. Minta keterangan tambahan dari ahli

Tak hanya bukti-bukti berupa foto atau video, korban pemerkosaan bisa menambahkan keterangan ahli. Ini dilakukan agar semakin menguatkan alat bukti.

Salawati menyebutkan, keterangan ahli ini bisa didapatkan dari ahli kejiwaan atau psikolog. "Konselor keluarga maupun ahli kesehatan alat reproduksi juga bisa dihadirkan," katanya.

Dengan begitu, bukti-bukti akan semakin lengkap.

6. Lakukan visum

Setelah melakukan berbagai upaya di atas, korban pemerkosaan bisa melapor ke polisi agar selanjutnya dilakukan visum atas peristiwa yang dialaminya.

Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, untuk kepentingan penyelidikan.

Untuk menjalani visum inilah, korban harus melapor ke polisi. Salawati menyarankan agar korban secepatnya menjalani visum sesaat setelah kejadian karena visum mengandalkan faktor akurasi dan faktualnya.

Pengacara yang sering menangani kasus kekerasan ini mencontohkan, luka lebam biasanya hilang dalam beberapa hari. "Jadi jangan terlalu lama, korban kekerasan harus sudah lapor dalam waktu dekat."

Mabes Polri membantah telah mengabaikan kasus pemerkosaan 3 anak di Luwu Timur tersebut. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyatakan, tiap laporan masyarakat ke polisi akan ditindaklanjuti.

Selanjutnya, proses hukum akan dilakukan berdasarkan alat bukti yang ada.

"Yang jelas, setiap laporan masyarakat yang menginginkan pelayanan kepolisian di bidang penegakan hukum pasti akan ditindaklanjuti. Dan tentunya proses di kepolisian sendiri didasari dari alat bukti," kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (8/10/2021).

Sebaliknya, pihaknya menanyakan sumber data saat kepolisian dianggap mengabaikan kasus itu. Sebab menurutnya, polisi pasti akan melanjutkan proses hukum suatu laporan jika ada alat-alat bukti yang cukup.

"Tapi ketika ternyata alat-alat bukti yang menjurus pada laporan tersebut tidak mencukupi dan penyidik berkeyakinan tidak ada suatu tindak pidana, tentu penyidik tidak akan melanjutkan laporan tersebut," ujar dia.

Sumber: Project Multatuli, Kompas.com (Penulis: Tsarina Maharani | Editor: Bayu Galih)

https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/09/060500481/ramai-tagar-percumalaporpolisi-kemana-sebaiknya-korban-pemerkosaan-mengadu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke