KOMPAS.com - Bumi kembali mencatatkan suhu terpanas pada Maret 2024, sehingga memperpanjang rekor suhu global yang dimulai pada Juni 2023.
Copernicus Climate Change Service mengatakan, ini merupakan indikasi terbaru bahwa iklim Bumi telah memasuki wilayah yang belum dipetakan.
“Maret 2024 meneruskan rangkaian rekor perubahan iklim baik suhu udara maupun suhu permukaan laut, dengan pemecahan rekor bulan ke-10 berturut-turut,” kata anggota Copernicus Climate Change Service, Samantha Burgess dikutip dari New Scientist.
Selama 12 bulan terakhir, suhu rata-rata global telah mencapai 1,58 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850 hingga 1900, periode yang digunakan untuk mewakili tingkat pra-industri.
Sementara, suhu pada Maret 2024 memiliki rata-rata 14,14 derajat celsius, 0,1 derajat celsius di atas suhu tertinggi sebelumnya pada bulan Maret 2016 dan 1,68 derajat celsius lebih hangat dibandingkan masa pra-industri.
Baca juga: Suhu di Antarktika Naik 40 Derajat Celsius di Atas Rata-rata, Ini Penyebab dan Dampaknya
Suhu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya beriringan dengan dampak iklim yang mengkhawatirkan.
Dampak iklim tersebut mulai dari gelombang panas laut parah hingga pencairan gletser yang cepat dan siklon tropis hebat.
Emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia bertanggung jawab atas peningkatan suhu global.
Tingginya suhu panas ini juga disebabkan oleh El Nino, yaitu pola cuaca alami ketika suhu laut di Samudra Pasifik lebih hangat dari biasanya.
Diperkirakan polusi atau emisi aerosol dari kapal juga berperan dari peningkatkan suhu panas yang kembali memecahkan rekor.
Aerosol diketahui memungkinkan awan untuk memantulkan lebih banyak cahaya matahari dan panas kembali ke atmosfer.
Ilmuwan menekankan, aerosol mungkin dapat memberikan manfaat pendinginan jangka pendek.
Namun, dekarbonisasi perekonomian global adalah satu-satunya strategi jangka panjang untuk menghentikan perubahan iklim
“Menghentikan pemanasan lebih lanjut memerlukan pengurangan emisi gas rumah kaca secara cepat,” kata Burgess.
Baca juga: Ramai soal Tak Ada Badai yang Melintasi Garis Khatulistiwa, Ini Kata BMKG
Emisi bahan bakar fosil juga berpengaruh besar terhadap perubahan iklim, dilansir dari The Guardian (9/4/2024).