Ia menjelaskan, UU Pemilu dalam prinsipnya tak bisa hanya dibaca satu pasal.
"Intinya adalah UU itu mengatur secara terang bahwa tidak boleh ada perilaku dari presiden dan semua pejabat negara lainnya untuk memihak salah satu kandidat," kata Bivitri, dikutip dari tayangan Kompas TV, Rabu.
"Mana bisa kita membedakan kalau presiden lagi ngomong sesuatu, ajudannya tidak ada di sampingnya? Ajudan itu dibayar pakai APBN, jadi fasilitas negara itu bisa diperdebatkan lagi," sambungnya.
Menurutnya, fasilitas negara yang dimaksud dalam UU Pemilu bukan hanya berupa gedung atau kendaraan, tetapi juga semua yang melekat pada diri seorang presiden dan menteri.
Tak hanya itu, dalam konteks masyarakat feodalistik seperti Indonesia, wewenang presiden atau menteri biasanya juga menghasilkan pengaruh atau instruksi.
"Jadi kalau misalnya orang-orang yang memegang jabatan seperti presiden dan menteri bilang pilih si X, maka itu akan menjadi seperti perintah bagi bawahannya," ujarnya.
"Makanya kita pegangannya harus prinsip," pungkasnya.
Baca juga: Megawati Ulang Tahun Ke-77, Jokowi dan Gibran Kompak Beri Ucapan Selamat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.