Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Hamas Vs Israel, Apa Dampak bagi Ekonomi Indonesia?

Kompas.com - 09/10/2023, 15:45 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Kenaikan harga minyak

Bhima menuturkan, konflik Palestina vs Israel ini juga berpotensi besar menaikkan harga minyak mentah hingga 90-92 dollar AS per barrel.

Kendati demikian, ia melihat bahwa kenaikan harga minyak saat ini kemungkinan tidak separah krisis minyak mentah 1973.

Saat itu, kenaikan tertinggi harga minyak mencapai 450 persen dari 2 dollar AS per barrel menjadi 11 dollar AS per barrel.

"Faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus," jelas dia.

Menurutnya, beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.

Selain itu, belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Arabi Saudi dan Rusia pada November mendatang juga menjadi faktor lain penyebab harga minyak tidak akan naik signifikan.

Kenaikan dollar AS juga akan menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak.

Pasalnya, akan muncul kekhawatiran banyak negara importir minyak untuk mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.

"China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami slowdown ekonomi hingga 2024 mendatang. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi demand minyak global," kata dia.

Baca juga: Operasi Badai Al-Aqsa, Mengapa Hamas Luncurkan Serangan Besar-besaran secara Mengejutkan?

Antisipasi pemerintah

Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin mengatakan, bahwa perang Palestina vs Israel menurutnya akan menghambat pemulihan ekonomi global.

Oleh karena itu, dia memprediksi risiko resesi pun akan semakin besar. Atas dasar itu, Eddy menilai bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam menyikapinya di bidang ekonomi.

"Cadangan devisa perlu dijaga dan dinaikkan, inflasi perlu dikendalikan dengan ketat, suku bunga perlu dijaga stabil dan kalau bisa diturunkan perlahan," kata Eddy, dihubungi secara terpisah, Senin.

Ia menjelaskan, pemerintah juga perlu mengurangi defisit fiskal hingga maksimal tiga persen dari PDB.

Dalam waktu dekat, pemerintah juga perlu mengusahakan agar utang tidak bertambah lagi.

"Jadi, misalnya pertumbuhan ekonomi terhambat, paling tidak indikator-indikator fundamental ekonomi lain tetap sehat dan bisa menopang di masa tidak menentu," ujarnya.

Senada dengan Eddy, Bhima berharap pemerintah melakukan berbagai upaya antisipatif untuk menjaga stabilitas kurs rupiah.

Ini dilakukan dengan dorong pemanfaatan devisa hasil ekspor, mengendalikan repatriasi dividen ke luar negeri, mengendalikan konsumsi BBM, serta mencegah impor pangan berlebihan.

"Produksi pangan dalam negeri bisa terus didorong, sehingga beban impor yang berdampak ke fluktuasi rupiah bisa diredam," jelasnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com