TEPAT 10 tahun lalu, saya bersama dua kawan, Gerryl Besouw dan Doddy Matondang, membuat ikhtiar sederhana untuk merangkul komunitas di Indonesia. Dari ikhtiar itu, kami mencetuskan mendeklarasikan Hari Komunitas Nasional 28 September 2013.
Mimpi besar tercetusnya Hari Komunitas Nasional adalah bagaimana komunitas yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia bisa bersatu, berjejaring, dan menciptakan dampak. Terlebih, banyak komunitas yang saling terpencar dan tidak terdengar gaung pergerakannya.
Selain itu, ini juga bentuk apresiasi atas kontribusi komunitas yang tanpa lelah terus berjuang menciptakan program-program baik untuk masyarakat.
Satu dekade berlalu, gaung Hari Komunitas Nasional masih dirayakan hingga kini. Beberapa poster ucapan bertebaran di media sosial komunitas-komunitas.
Namun, di atas perayaan seremonial tersebut, saya bahagia karena semakin banyak komunitas yang bermunculan, yang punya niat baik memperbaiki kehidupan masyarakat.
Komunitas-komunitas ini juga saling berkolaborasi membuat program yang berdampak bagi masyarakat. Dan yang terpenting, komunitas memberikan tempat terbaik untuk belajar kepemimpinan.
Tidak salah menganggap komunitas sebagai laboratorium kepemimpinan. Menurut Posner (2015), pemimpin di komunitas (relawan) lebih sering terlibat dalam perilaku kepemimpinan dibandingkan pemimpin yang digaji.
Hal ini karena komunitas digerakkan berdasarkan motivasi intrinsik masing-masing. Keterlibatan kita kepada setiap anggota menjadi hal terpenting agar terus termotivasi berbuat kebaikan di masyarakat.
Selain itu, di komunitas, kita belajar untuk memimpin dengan memberikan dukungan dan otonomi kepada sesama relawan.
Oostlander (2014) menegaskan bahwa kepemimpinan yang mendukung otonomi merupakan faktor penting dalam konteks organisasi, meningkatkan motivasi dan kepuasan otonomi relawan.
Anak muda yang terlibat dalam komunitas mengalami peningkatan kesadaran sosial yang membuatnya lebih termotivasi untuk bergerak.
Pernyataan ini divalidasi oleh penelitian Domínguez et al (2019). Mereka menyatakan bahwa komunitas secara signifikan memengaruhi komitmen generasi muda terhadap keadilan sosial dengan menanamkan nilai-nilai komunitas seperti timbal balik yang memosisikan pendidikan tinggi sebagai bentuk keadilan sosial.
Kesadaran inilah yang memunculkan keinginan untuk bergerak mencari solusi tantangan di Indonesia.
Dari kesadaran mencari solusi, anak muda mencari komunitas untuk bisa mengaktualisasikan dirinya dan mengembangkan kemampuan kepemimpinannya. Tak jarang, anak muda membuat komunitasnya sendiri untuk bisa lebih leluasa berkontribusi.
Bagi saya, komunitas adalah wadah dahsyat bagi anak muda untuk belajar. Menurut Bakshi & Joshi (2014), komunitas adalah konteks yang kuat bagi pengembangan pemuda yang dapat menyusun perkembangan optimal bagi pemuda dalam ekologi mereka.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.