Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Yusuf ElBadri
Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengkaji Islam dan Kebudayaan

Buku dan Terorisme

Kompas.com - 09/06/2023, 14:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 4 Juni 2023, Detasemen Khusus (Densus) Antiteror Polri menangkap seorang terduga teroris di Tulungagung, Jawa Timur. Saat ditangkap, terduga teroris itu membawa serta buku-buku bertema jihad. Buku-buku itu turut diamankan (Kompas.com, 5/6/2023).

Kompas.id memberitakan bahwa pada 24 Mei 2023 bahwa Densus juga menggeledah rumah terduga teroris di Surabaya, Jawa Timur. Dalam penggeledahan itu aparat menyita kardus berisi buku dan dokumen (Kompas.id, 24/5/2023).

Bukan kali ini saja buku disita aparat keamanan untuk dijadikan alat bukti keterorisan seseorang. Dalam satu dekade terakhir, setiap kali ada penangkapan terduga teroris dan penggeledahan, buku hampir selalu menjadi salah satu dokumen yang disita. Bahkan pernah pula aparat secara serampangan menjadikan Al Quran sebagai barang bukti, yang kemudian diprotes keras.

Baca juga: Serangan Siber BSI dan Rekonseptualisasi Tindak Pidana Terorisme

Apa hubungan buku atau bahan bacaan lainnya dengan pikiran, paham atau ideologi? Apakah suatu pengetahuan dapat membuat seseorang menjadi teroris? Layakkah buku dijadikan sebagai barang bukti sebuah kejahatan? Apa yang ingin dibuktikan oleh aparat keamanan dengan keberadaan buku bacaan tertentu di rumah terduga teroris?

Buku dan Kejahatan

Buku telah lama menjadi sarana untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Tujuannya supaya ilmu dan pengetahuan terus berkembang, dan peradaban manusia kian maju. Semua bangsa maju di mana saja berlomba-lomba memproduksi buku.

Adakah penjahat yang rajin, atau paling tidak suka membaca buku? Pernahkah aparat penegak hukum menyita buku dari rumah para koruptor, pencuri atau pembunuh berantai?

Inilah pertanyaan saya sejak beberapa tahun lalu, ketika muncul berita yang menyebut polisi menyita sejumlah buku di rumah seorang terduga teroris. Jawabannya jelas, tidak ada penjahat yang suka membaca buku apalagi rajin membaca buku.

Pembaca yang baik tidak akan pernah melakukan kejahatan. Tidak pernah pula aparat menyita buku dari rumah para koruptor, pencuri atau pembunuh berantai sebagai barang bukti. Tak ada satu pun buku yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, mencuri atau membunuh. Toh pada kenyataannya korupsi tumbuh subur di Republik Indonesia, demikian juga tingkat kejahatan pencurian dan pembunuhan.

Bila kejahatan terus tumbuh, walau tidak ada buku yang mengajarkannya, maka hal itu menunjukkan bahwa antara buku atau bacaan tertentu tidak ada hubungannya dengan suatu kejahatan, termasuk kejahatan terorisme.

Lantas kenapa selalu ada buku yang menjadi barang bukti di penangkapan terduga teroris? Jawaban yang paling mungkin hanya satu, yaitu aparat ingin menyatakan bahwa sang terduga teroris telah terpapar ideologi atau paham tertentu melalui bacaan yang dibuktikan dengan adanya sejumlah buku tentang paham atau ideologi terserbut.

Bila asumsi itu benar, muncul pertanyaan lanjutan. Apakah buku atau bacaan tertentu dapat membuat seseorang teroris?

Buku, Ideologi dan Kehendak Bebas Manusia

Buku memang menjadi salah satu sarana atau medium penyebaran berbagai paham atau ideologi di berbagai belahan dunia. Tetapi hanya dengan membaca buku tertentu seorang tidak akan serta merta menjadi penganut dan pembenar dari paham yang ada dalam buku tersebut.

Contoh paling sederhana adalah sikap umat beragama di Indonesia. Setiap umat beragama pasti mempunyai kitab suci dan buku pedoman keagamaan yang mengajarkan kebaikan, peduli pada sesama, peduli lingkungan dan mencintai perdamaian.

Ajaran-ajaran dalam kitab suci itu terkadang tidak hanya didengar atau dibaca setiap hari atau setiap minggu, tetapi juga dihafalkan. Faktanya tindak-tanduk dan perilaku umat beragama di Indonesia sering kali bertentangan dengan ajaran kitab suci yang dibaca saban waktu itu. Hal itu dapat dilihat dari indeks korupsi Indonesia yang tak kunjung menurun seiring meningkatnya religius orang Indonesia.

Baca juga: Aksi Terorisme Sushi di Jepang, Guyonan Berujung Hukuman

Pembabatan hutan dan perusakan lingkungan terus terjadi di berbagai daerah umat beragama. Bacaan kitab suci tak serta merta membuat seseorang menjadi saleh dan baik. Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa bacaan, bahkan hafalan, tidak bersangkut paut dengan paham atau ideologi yang dianut seseorang, berikut tindak-tanduk dan perilakunya.

Paham atau ideologi adalah satu hal dan pengetahuan adalah hal lain. Memang, bacaan berperan membentuk cara berpikir dan berspektif seseorang dalam melihat sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi secara otomatis.

Bahan bacaan menjadi paham atau ideologi itu butuh proses panjang dan dibentuk oleh faktor-faktor di luar bacaan. Faktor di luar bacaan ini adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Masa Orde Baru buku-buku berbasis ideologi marxisme atau kiri dilarang di Indonesia. Hingga tahun 2019 penyitaan buku-buku berhaluan kiri masih sering terjadi dan buku-buku disita aparat tanpa dibaca lebih dahulu.

Sejak masa reformasi hingga sekarang buku-buku ideologi marxisme beredar secara masif dan gratis di berbagai platfrom cetak dan digital, dapat diakses secara mudah dan mungkin dibaca oleh banyak orang. Faktanya di masyarakat menunjukkan, ideologi kiri sampai sekarang tak menunjukkan tanda-tanda kemunculan yang berarti selain antipati terhadap gagasan revolusi marxisme yang cenderung membosankan.

Membaca suatu buku tak selalu berarti menjadi pengikut suatu paham melainkan juga sebaliknya mengajarkan sikap kritis terhadap pemikiran tertentu. Karena itu, menjadikan buku sebagai barang bukti dari suatu tindakan terorisme tidak relevan sekaligus tidak masuk akal.

Aparat negara perlu mempertimbangkan lagi keberadaan buku sebagai barang bukti kejatahan. Buku adalah sumber pengetahuan dan ilmu yang tidak layak dijadikan sebagai bukti suatu kejahatan.

Ilmu adalah suatu yang bersifat mulia dan terhormat sementara kejahatan adalah tindakan manusia sebagai pribadi yang rendah. Apapun bacaan dan ilmu yang dikuasai seseorang tidaklah menjamin seseorang akan bertindak sesuai dengan bacaan dan ilmu itu.

Tindakan kejahatan seseorang tergantung pada kehendak bebas manusia yang disertai motif-motif tertentu. Menjadikan buku sebagai barang bukti tindak terorisme selain bentuk penghinaan terhadap ilmu dan pengetahuan, juga menafikan fungsi manusia yang mempunyai kehendak bebas dalam memilih suatu tindakan.

Menafikan kehendak bebas manusia berarti menafikan kemanusiaan sebab kehendak bebas itulah inti dari manusia sekaligus yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, apapun kejahatan seseorang tidaklah pantas dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Tindakan adalah akibat langsung dan berasal dari kehendak bebas manusia bukan dari ilmu dan paham atau ideologinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com