Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

I-Ching dan I-Ching

Kompas.com - 31/05/2023, 18:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA lembaran sejarah kebudayaan China tercatat dua I-Ching. I-Ching yang satu adalah judul buku dan I-Ching yang satu lagi adalah nama seorang musafir merangkap ulama Buddhisme.

Sebagai judul buku, I-Ching disucikan sebagai satu di antara Lima Kitab Klasik Kong Hucu yang ditulis oleh Wenwang sekitar abad XII sebelum Masehi membahas sistem spiritual yang digunakan oleh para peramal dinasti Zhou.

Bagian komentarial diduga ditambahkan pada I-Ching pada masa Perang Antar Kerajaan sekitar abad V sampai dengan III sebelum Masehi sebagai eksposisi filosofikal dalam upaya menjelaskan prinsip-prinsip etikal dan moral dengan menggunakan metode dialektika.

Para sejarawan masih meragukan anggapan I-Ching sebagai bagian dari Lima Kitab Klasik Konfusianisme mengingat Konfusius sendiri senantiasa menghindar dari doktrin-doktrin esoterikal.

Diduga para konfusianis dinasti Han (sekitar abad II sebelum Masehi) terpengaruh oleh upaya mencari imortalitas para Taois maka sengaja mengaitkan I-Ching dengan Kitab Klasik Kong Hucu.

Keunikan I-Ching terutama terletak pada presentasi 64 simbol heksagram yang diyakini memiliki makna filsafat sangat kompleks yang bahkan didayagunakan sebagai orakel demi meramal masa depan.

Heksagram I-Ching terbentuk secara berpasangan pada delapan dasar trigram yang menurut legenda ditemukan oleh Kaisar Fuxi pada punggung cangkang kura-kura.

Sampai masa kini masyarakat China percaya sepenuhnya terhadap kekuatan gaib ramalan I-Ching sebagai bekal pedoman perjalanan hidup menuju ke masa depan.

Di samping nama judul buku, I-Ching juga merupakan nama seorang bhiksu yang pada masa dinasti Tang abad VII mengembara sampai ke India melalui perjalanan laut Asia Tenggara.

Sekembali dari Nalanda, India, I-Ching membawa sekitar 400 dokumen Buddhisme yang kemudian atas perintah Empress Wu Tse-tsien diterjemahkan ke dalam bahasa China.

Semasa hidupnya, I-Ching berhasil menerjemahkan 56 mahakarya 230 faksikel dalam bentuk skriptur, komentar dan teks Vinaya sehingga diberi gelar “Master of the Tripitaka”.

Di dalam sejarah peradaban China, nama I-Ching disejajarkan dengan Hsuan Tsang, Kumarajiva dan Paramartha sebagai Empat Penerjemah Agung yang mengalih-bahasakan kitab-kitab suci Buddhism ke dalam bahasa China.

I-Ching wafat pada 16 Februari 713, serta dikebumikan dengan upacara keagamaan dan kenegaraan secara megah.

Kemudian secara anumerta I-Ching dinobatkan sebagai Honglu Qing (Direktur Kebudayaan Departemen Luar Negeri). Kuil bernama Jin’quangming (Sinar Mas) didirikan di sekitar kawasan mausoleum I-Ching.

Secara khusus dan pribadi sebagai seorang insan warga Indonesia, saya menghormati I-Ching yang semasa perjalanannya pernah mengunjungi kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Indonesia dan tulisannya mengenai kerajaan tersebut adalah satu dari sedikit sumber mengenai Sriwijaya.

Dalam buku catatan perjalanannya, I-Ching berkisah bahwa sang peziarah Hui Ning memutus pengembaraannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 – 667/8) untuk menterjemahkan sebuah sutra utama, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung.

Penterjemahannya dibantu seorang budayawan Jawa bernama Jñânabhadra. Adalah Hui Ning yang sempat berkisah tentang keakbaran dan keagungan Candi Borobudur sebagai monumen Buddhisme terbesar di marcapada.

I-Ching sangat menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatera berdasar pengalaman selama tinggal enam bulan di Sriwijaya (Palembang) dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 kemudian setelah itu selama sepuluh tahun kembali bermukim di Sriwijaya sekitar tahun 685 sampai 695.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com